Rabu, 24 Juni 2015

Mudik Mas Bro!

Mudik! (ilustrasi)

Beruntung pernah merasakan atmosfer mudik! Di penghujung dekade 90an dan awal  2000an.  Ada rasa yang tak bisa digambarkan dan aura yg tak terlukiskan menyelimuti segenap peserta mudik. Sketsa kampung halaman tergambar jelas pada tumpukan tas dan kardus. Bayangan keluarga dan handai taulan menelan semua kesulitan dan tantangan mudik. Berebut tiket moda transportasi, cuaca panas, bawaan yang berat menjadi semacam pelengkap derita yang dimaknai bahagia!

Macet menjadi semacam ritual yang harus dialami peserta mudik! Perjalanan mudik yang lancar-lancar saja ya sepertinya akan mengurangi sakralitas mudik! Macet sejam dua jam yang mungkin dapatlah kita masukan sebagai rukun mudik!

Filosofisnya mudik itu mengingat awal. Mengingat kembali tempat dan siapa yang melahirkan kita. Eksistensi kita ditempat sekarang mustahil tanpa kontribusi tempat dulu kita tumbuh dan berkembang. Kehadiran kita kini tidak lepas dari orang tua yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik kita! Keluarga besar kita yang ikut membentuk sehingga kita dapat sampai pada pencapaian posisi dan kondisi sekarang. Kita tumbuh dan berkembang bukan di ruang vakum! Sebuah arogansi yang nyata manakala kita berkata bahwa kita kini hanya karena kita semata!

Sejatinya mudik itu spirit. Semestinya mudik itu immateri! Maka menjadi kontradiktif manakala mudik menjadi sesuatu yang membenda, memateri. Seperti Idul Fitri yang seolah meninggalkan fitrahnya yang spiritual menjadi sesuatu yang artifisial....baju baru, THR, kue, kembang api dan lain-lain. Mudik itu hakikatnya untuk menampakkan hati, membuktikan bahwa hati ini belum berpaling dari asal kita! Mudik itu bukan ingin katempo (terlihat) dan karasa (terasa)...mudik itu untuk melihat dan merasakan...mudik itu bukan untuk memperlihatkan keakuan kita tapi untuk membuktikan kemerekaan kita!

Dalam konteks yang lebih dalam filosofis,  mudik adalah sebuah kosakata yang menggebrak eksistensi diri. Kembali bertanya tentang kita. Siapa kita, siapa pencipta kita, untuk apa kita dan akan kemana kita! Agar kita senantiasa kita mengingat dan mempersiapkan mudik akbar! Nanti di Padang Mahsyar! di sana tidak perlu membawa tumpukan kardus atas amplop THR. Tidak perlu bingung mau naik apa. Di hari itu amal kitalah yang akan menolong kita.
Faghfirli...yaa robb!
kami masih terus bergulat dengan bayangan.
habis-habisan memperebutkan kefanaan, beban dan tanggung jawab.
terlena dengan lahwun walaibun!

4 komentar:

POM MINI INDONESIA mengatakan...

Luar biasa ...

Unknown mengatakan...

hmmm mudik..kalau saya sih mudiknya jarang kena macet pa iif, jarak tasik ke bukatok citty bisa ditempuh hanya dengan waktu kurang dari 30 menit...

Syarif Thoyibi mengatakan...

Terima kasih sudah berkenan mampir!

Syarif Thoyibi mengatakan...

Untuk merasakan suasana kebatinan mudik, tiasa dicoba ti Tasik ka Bukatok nikreuh mapah kang.....hehehe

Puasa

Sebentar lagi memasuki Bulan Ramadhan, 14 hari lagi InsyaAlloh.  Tidak terasa, Baru kemarin merayakan lebaran.... Kalimat yang hampir sama k...