Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Kerja Politik vs Kerja Ikhlas

Karena citra dihadapan manusia adalah hal krusial dalam politik maka setiap kerja politik harus diumumkan, dipublikasikan. Apa yang telah dicapai dan apa yang telah dikerjakan harus diberitahukan agar menjadi bukti sahih bahwa ia telah bekerja dan mampu bekerja. Filosofi bahwa  tangan kiri  tidak usah tahu ketika tangan kanan melakukan kebaikan kehilangan eksistensinya dalam konteks kontenstasi politik. Kita tidak usah heran ketika timbul saling klaim atas sebuah keberhasilan, masing-masing pihak merasa paling berjasa! Kereta keberhasilan memang mengundang banyak gerbong untuk bergabung. Sejatinya sebuah kerja itu tidak independen. Sebuah hasil itu tidak lahir dari kerja individual. Ia muara dari sebuah kerjasama dan kerja bersama. Gotong royong dalam arti yang sebenarnya. Sebuah bangunan berdiri karena susunan pasir-pasir kecil yang kalau dipecah lagi   terdiri dari gabungan partikel kecil. Namun khalayak terkadang hanya melihat yang besar...pimpinannya! Keringat pekerja-pekerja

Tadabbur Tafakur dan Tasyakur (1)

Ujian keshabaran dan keimanan itu sejatinya adalah ketika kita menderita sakit. Apalagi ketika menderita sakit yang menurut medis "dekat" dengan kematian. Sebetulnya kita harus terus mengingat kematian dan bukankah dalam sebuah hadist juga dikatakan bahwa orang yang paling cerdas itu adalah orang yang selalu mengingat kematian dan mempersiapkan bekal untuknya. Tapi ketika sakit yang timbul adalah ketakutan. Peperangan batin antara menerima takdir dan mempertanyakan takdir. Upaya untuk berserah dan bertawakal mendapat perlawanan hebat bisikan-bisikan syetan dan lintasan-lintasan hati yang memberontak. Betul bahwa dikarunia qolbun salim adalah nikmat yang besar sekali, beruntung kita jika mendapatkannya. Pemasrahan kita terhadap apa yang Alloh takdirkan merupakan kunci. 

Mengakrabi Kematian

Hikmah yang dapat kupetik dari dinamika kesehatan yang kujalani akhir-akhir ini adalah belajar mengakrabi kematian. Sesuatu yang sebelumnya hanya sebatas ingat-ingat lupa. Sebelumnya kematian dianggap masih jauh. Bagaimana ga seperti itu, wong dalam shalat pun pikiranku masih dikuasai dunia. Thulul amal begitu menjangkiti. Kita sibuk merencakan ini itu. Ntar mau ini ini itu! Kematian yang dulu masih sayup-sayup kini serasa dekat. Dan sejatinya pun sebagai mahluk memang kita harus memandang kematian itu dekat. Pagi belum tentu kita ketemu sore dan hari ini belum tentu kita bertemu besok. Namun ya itu tadi, kita seringnya lupa. Kerlap kerlipnya dunia membuat kita terlena.  Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia k