Dewa Slide

Dewa Slide

Sabtu, 21 Juli 2018

Nyaleg itu Gimana Gitu! (Pengalaman dari Daerah)

Gedung DPRD Kabupaten Ciamis

Saya pernah mengikuti prosesi untuk dapat beraktifitas di gedung di atas. Dulu lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Mungkin salah satu “kecelakaan” dalam perjalanan sejarah hidup ini adalah pernah ikut nyaleg. “Kecelakaan” yang positif tentunya. Bagi saya dan rangkaian hidup saya yang hampir kesemuanya ada dalam bingkai kesederhanaan, Nyaleg jelas merupakan sesuatu yang mewah. Bagaimana tidak mewah adik kelas waktu kuliah yang kerja di KPU Pusat sampai bilang, wah akang ikut nyaleg ya! Nama saya ada dalam lembaran negara, buku besar dokumentasi perjalanan demokrasi Indonesia yang kita cintai ini. Bolehlah saya bangga-bangga dikit.

Ketika nama lengkap ada di lembaran surat suara Pemilu Tahun 2004 untuk DPRD Kabupaten bagi saya merupakan kehormatan. Foto diri ada di sticker-sticker dan leaflet, ditempel disana-sini bagi saya yang dulu masih imut-imut merupakan sebuah lompatan besar. Betapa tidak imut-imut, diusia yang belum genap 27 tahun, ketika hidup masih sendiri, uang kadang ada kadang tiada, hanya bermodalkan sebuah sepeda motor tua, didorong untuk tampil! Manakala kini manemukan artefak sejarah berupa sticker bergambar diri yang masih menempel di pintu rumah para pendukung terkadang membuat diri ini tersenyum simpul. Owh aku ternyata aku pernah berambut banyak!

Lepas dari menang tidaknya, nyaleg merupakan pengalaman yang sangat menarik dan berharga. Bobot pembelajarannya melebihi beban SKS ketika menuntut ilmu di Perguruan Tinggi.  Nyaleg itu harus mau diundang kesana kemari oleh berbagai komponen, komunikasi dan kelompok . Memberikan sepatah dua patah kata (kaya pejabat aja deh pokoknya). Dan akhirnya merespon keinginan kelompok masyarakat yang mengundang yang terkadang sangat pragmatis. Saat itulah ada ungkapan bagi saya yang tergolong caleg agak-agak misqueenn ini terdengar  lebih horor dari Film Sundel Bolong  “Urang dieu mah crung creng kang!, nu penting mah akang masihan naon we nu karaos ku warga, InsyaAlloh aya suara!. (Orang sini kontan kang! ada pemberian InsyaAlloh ada suara). Saat itulah aku berandai owh andai aku caleg yang kaya raya!Mungkin tidak kalang kabut kalau diminta jadi solusi yang bersifat materi.

Nyaleg itu harus siap ketika ada yang datang bertamu. Dari berbagai kalangan dan latar belakang. Harus siap ngobrol ngalor ngidul. Harus shabar mendengar mereka berjanji siap membantu asal ….Pokoknya kematangan emosional kita betul-betul diuji. Tapi karena niat nyaleg saat itu tidak muluk-muluk dan bukan untuk kepentingan sendiri, semua berjalan nyelow dan enjoy! Tahu diri, sadar kapasitas dan potensi diri. Tanpa mengurangi keseriusan prosesi demokrasi dilalui dengan canda tawa. 

Mendapat satu dua suara dalam Pemilu itu tidak mudah! Sekali lagi tidak mudah! Jauh Lebih mudah mendapat like di status medsos. Orang yang satu daerah pun belum tentu memberikan suara untuk kita. Yang paling penting tentu dukungan dari keluarga besar kita. Dukungan dari keluarga itu tulus, tidak bergantung partai apa dan telah memberi apa. Walaupun pada kenyataannya dukungan keluarga besar itu tidak akan  mencapai 100%, ya wong namanya juga pemilihan, terkadang terkait dengan  hati dan berbagai hal lainnya.

Berdasarkan pengalaman, nyaleg itu juga perlu gizi dan logistik. Kita tak cukup bermodal citra diri dan citra partai. Dalam kenyataannya peredaran gizi dan logistik yang lancar akan mengalahkan citra diri dan citra partai. Ada pengalaman unik, dari satu daerah kita dapat suara sama persis dengan jumlah kaos yang kita bagikan. Untuk itu nyaleg itu sebaiknya tidak ujug-ujug. Tapi harus menanam sejak lama. Menanam itu tidak harus materi. Bibit dan benih kebaikan yang dapat ditanam itu banyak jenisnya.

Dulu tuh punya amunisi Kalender, Kaos dan Sticker saja kita sudah bersemangat.  Melihat ada orang yang pakai kaos partai kita, wuih senangnya bukan main. Nyaleg sekarang terbantu dengan adanya internet dan terutama media sosial. Kampanye dan sosialisasi akan banyak termudahkan. Dulu belum musim bikin spanduk atau baligo, paling banter sticker dan kaos partai bergambar caleg. 

Tapi tetap pertemuan langsung itu penting. Medsos, media masa dan media elektronik kalau diibaratkan piranti serangan udara yang tidak akan efektif bila tidak didukung oleh Pasukan Infantri, Pasukan Darat. Dalam kontestasi Pemilihan Umum sekarang, penguasaan territorial menjadi penting.
Seperti halnya konteks pemilihan yang lain, Nyaleg juga merupakan sebuah seni, adu strategi. Dulu di partai kami itu, antar caleg ga saling bersaing, tapi saling mendukung. Maka kita sering motoran bareng, kampanye bareng, logistic juga dibuatin. 

Sejatinya kompetisi antar caleg baik dalam satu partai maupun antar partai juga jangan kontrapoduktif apalagi melebar ke arah konflik horizontal. Kontestan harus bersaing secara sehat dengan mengedepankan niat baik untuk melebarkan peluang berbuat baik. Sependek pengetahuan saya ketika telah menjadi Anggota Dewan sekat-sekat partai, perbedaan platform dan ideologi itu tidak terlalu dominan lagi, lebih ke arah bagaimana bersama-sama membangun daerah pemilihan (Dapil). 

*Tulisan ini didedikasikan buat teman dan kolega yang tengah dan akan berkiprah membangun masyarakat di bidang politik. Selamat berjuang! 

Minggu, 01 Juli 2018

Apa dan Bagaimana Setelah Pilkada!


Bulan Juni berakhir sudah. Bulan yang penuh momentum! Selain Ramadhan dan Idul Fitri plus mudik dan arus baliknya, di bulan ini ada Pilkada serentak. Usai sudah hiruk pikuk demokrasi langsung ini. Beres juga pesta demokrasi yang penuh dinamika  itu. Seperti lumrahnya sebuah pesta, semua tidak berakhir ketika hari berganti! Sisa-sisa dan turunannya akan berlanjut, entah dalam hitungan bulan atau bahkan tahun.

Seperti laiknya kontestasi yang lain, Pilkada serentak juga berlangsung riuh rendah. Tapi bagi kita yang maqomnya sehanya sebatas pemilik suara: tidak terkait dan terlibat langsung, hikmahnya adalah bahwa dalam sesuatu itu jangan terlalu, sedang-sedang saja, biasa-biasa saja.   Sebatas menggunakan hak, hak lho ya! (maka dinamakan hak pilih, bukan wajib pilih). Memilih yang diyakini.  Keyakinan seseorang terhadap sesuatu memang berbeda. Banyak faktor yang membangun sebuah keyakinan....dan  keyakinan itu seperti cinta! Terkadang merontokkan logika. Tapi apapun logikanya kepentingan tetap menjadi panglima! Kepentingan diri, keluarga, karir, materi atau apapun itu!

Tapi itulah seninya berbeda. Saling menghormati dan menghargai adalah pelajaran paling penting dari sebuah perbedaan pilihan. Ketika dukungan kita menang, hanya sebatas eforia belaka yang mungkin hanya bertahan beberapa minggu atau paling banter beberapa bulan. Selanjutnya business as usual. Hidup dan kehidupan tetap menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. 

Siapapun yang menjadi pemenang bagi kita masyarakat biasa tidak akan lama berpengaruh, hanya sebentar saja! Tapi tentu berbeda dengan mereka yang menjadi Tim Sukses, Relawan, Inner Cycle (Ring 1) atau pendukung fanatik salah satu calon . Mereka akan sangat senang. Harap-harap cemas bercampur peluh berakhir bahagia. Mereka senang hatinya. Berbanding terbalik dengan mereka yang ada di lingkaran calon yang kalah, sedih dan gundah gulana. Seperti kata mutiara, kemenangan memang banyak saudara tetapi kekalahan itu seperti anak yatim. Tapi seperti hal lain di alam fana, itu juga tidak akan terlalu lama!!

Pada episode selanjutnya yang panjang, sangat mungkin terjadi perubahan 180 derajat: Mantan pendukung  yang menang, justru jadi kecewa, karena ternyata figur yang mereka dukung ini tidak sebaik seperti yang mereka yakini sebelum pemilihan. Asa akan mendapat ini itu ketika tak menemui kenyataan akan melahirkan kekecewaan. Mantan pendukung calon yang kalah  justru berbalik menjadi pendukung yang menang, karena ternyata figur itu  tidak seburuk yang mereka yakini sebelum pemilihan. Itu karakter pendukung yang fair, buah dari paduan tata kelola rasional dan emosional. Sejatinya salah pilih itu bukan ketika calon yang kita pilih mengalami kekalahan tetapi ketika calon yang kita pilih tidak mampu menjalankan amanah dan tidak memenuhi janji-janji sebagaimana yang pernah dikampanyekan. Hal itu membuat banyak kalangan susah move on, akibat keterlibatan yang terlalu intens dan dalam.

Ada yang menang ada yang kalah, itulah hidup! Hal itu merupakan keniscayaan dalam sebuah kontestasi. Siapapun yang menang harus kita dukung semampu kita, sebisa kita! Persatuan bangsa ini lebih penting dibanding dengan perebutan kepeng dan remah-remah kuasa. Seperti yang dikatakan oleh mereka yang menang bahwa kemenangan ini adalah kemenangan rakyat. Kita harus menggarisbawahi frasa kemenangan rakyat ini, bukan kemenangan individu apalagi oligarki. Kemenangan seluruh rakyat harus menjiwai dan mengejawantah dalam seluruh kebijakan para kepala daerah, bukan kebijakan yang hanya mengakomodasi kepentingan oligarki (mereka yang menaruh saham pada sebuah kemenangan kontestasi politik). Lebih ironi lagi jangan sampai seperti yang dikatakan Jeffrey  A. Winters dalam Oligarchy-nya bahwa suara rakyat hanya dipinjam melalui bilik-bilik suara setelah itu oligarki yang bekerja!.