Pertama melihat foto itu di buku kerja mendiang Apa, dulu sudah lama sekali! Buku kerja sederhana seorang Ulis Dua. Ya, ayahku terakhir mengabdikan diri sebagai seorang Pamong Desa dengan nomenklatur jabatan Juru Tulis II. Sekarang dikenal dengan Kaur Keuangan. Aku menyebut pengabdian karena mengalami dan merasakan betul perjuangan Apa. Pahit getir sebagai seorang pamong desa membuat dia sempat berujar "ulah hayang jadi pamong desa ari teu kapaksa-kapaksa teuing mah, tong boroning salah, bener ge diomongkeun!". Ucapan itu terus terngiang-ngiang. Sehingga ketika karena sesuatu hal, aku tidak jadi menjabat caretaker Kuwu di desaku sehingga kehilangan kesempatan untuk belajar jadi pemimpin, kalimat Apa itu seolah jadi penghiburku. Dulu kondisi perekonomian pegawai desa tidak seperti sekarang. Tidak ada tunjangan ini itu fasilitas ini itu. Tiga kali setahun panen padi dari tanah bengkok itulah sumber penghasilan keluarga kami. Tak heran Apa selalu bergegas sehabis shubuh dan baru datang menjelang maghrib (diselingin shalat tentunya) demi mewujudkan cita-citanya. Etos kerja dan ritme hidup yang belum bisa aku tiru!
Foto itu pasti foto favorit Apa. Tokoh itu pasti tokoh yang dikagumi Apa. Selain sulah (begitu orang Sunda menyebut kebotakan sebagian kepala bagian depan), memang banyak karakter apa yang mirip dengan Mohammad Hatta. Tidak banyak bicara dan cenderung pendiam, analitis dan relijius. Satu hal mungkin yang membedakan, garis perjuangan! Ayah lebih ke kanan sedangkan Mohammad Hatta , nasionalis yang cenderung sekuler. Akfititas Apa "ngora" adalah ada dalam kibaran bendera Masyumi dan genderang Drumband serta baluran Seragam Ansor! Garis politik yang membuat ia harus merasakan popor pistol investigator Kodim dan berseberangan dengan mereka yang berada di tengah dan kiri.
Tapi jangan pernah meragukan nasionalisme kami! kami punya DNA untuk tidak diam dengan segala penindasan dan penjajahan, sekecil apapun itu! Ua adalah ikon perjuangan kampung kami. Beliau adalah wakaf kecil keluarga kami pada republik ini. Posisinya sebagai pentolan Sabilillah membuat berondongan peluru Tentara Belanda pada tahun 1948 menyambanginya sehinga ia harus rela mati muda.