Rabu, 27 Februari 2019

Di Sebuah Ruang Tunggu

Ruang Tunggu (ilustrasi)
Hari ini adalah giliran kontrol. Satu bulan satu kali bersilaturahmi dengan dokter yang merawat. Ibadah, semaksimal mungkin menyempurnakan ikhtiar.

Ruang tunggu pasien adalah tempat yang menakjubkan. Sambil menunggu panggilan baik untuk pemeriksaan awal atau pemeriksaan dokter, kita bisa banyak tafakur di sini. Kumpulan orang yang sedang ditakdirkan Alloh SWT untuk sakit menampilkan berbagai macam pembelajaran.

Di sini pula kita dapat melihat berbagai karakter manusia, baik yang sedang sakit atau yang mengantarnya. Ada yang shabar ada juga yang kurang shabar. Ada yang ceria, muka menekuk, sedih, dan ada yang biasa-biasa saja.

Di ruang tunggu pula saya berkesempatan belajar pada salah seorang pasien. Sama-sama berstatus pasien dokter Spesialis Jantung. Di sangka lebih tua karena badannya yang tinggi besar plus rambut yang gondrong diikat, eh ternyata ia lebih muda 5 tahun dari saya.

"Jantung saya lemah, cepat capai!", begitu keluhan ringkasnya. Saya dulu perokok berat, sehari rata-rata habis 3 bungkus rokok putih. Saya juga penggemar kopi hitam. Wah memang perpaduan rokok dan kopi adalah perpaduan yang serasi, bisa diibaratkan keajaiban dunia yang ke sebelas. Tapi ketika sudah sakit, keajaiban itu hanya jadi kenangan dan penderitaan.

Tapi saya sudah berhenti sekarang.  "Taluk pak dipasihan teu damang mah!", kilahnya. Dicoba dengan gangguan jantung memang menghentak kehidupan ini. Sangat menghentak! Kematian serasa dekat membayangi.

Pada dasarnya dunia ini adalah sebuah ruang tunggu. Ruang menunggu kematian. Ketika kita sakit kita serasa mendapat nomor antrian kecil. Padahal sejatinya kematian itu tidak memakai sistem antrian konvensional. Bisa nomor besar, nomor kecil atau yang tidak memiliki nomor antrian sekalipun.

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Jumat, 08 Februari 2019

Memposting Keikhlasan

Seiring perjalanan waktu ketika memosting sesuatu di media sosial hati dan pikiran ini jadi sok alim dan sok bijak. "Apa niat saya di balik postingan ini?". Apakah ingin dilike, diberi komentar, diberi pujian.

memposting sesuatu dengan berselimut keikhlasan itu menurutku yang imannya pas-pasan sulit sekali. Penyakit sum'ah (ingin didengar), ingin dilihat, dan riya berkolaborasi menggerogoti niat baik. Kita rata-rata memposting kebaikan....kesenangan. Jarang-jarang kita memposting musibah yang menimpa.

Kamis, 07 Februari 2019

Phlebotomi

Proses Phlebotomi
Akhirnya ngalamin juga diplebo.  Awalnya ada perasaan takut ini takut itu. Ternyata plebotomi bukan suatu yang menakutkan. Secara sederhana phlebotomi adalah proses mengeluarkan darah untuk suatu keperluan. Dalam khasanah thibbun nabawi, phlebotomi dikenal dengan terapi Al Fashdu.

Aku menderita polisitemia sekunder. Haemoglobin (Hb) pada darahku tinggi, lebih dari nilai normal berdasarkan pemeriksaaan lab. Akibatnya darah menjadi kental, hal ini ditunjukkan dengan nilai Hematokrit yang juga melebihi batas normal.

Hal ini diakibatkan karena kelainan jantung yang aku punya. Darah kekurangan oksigen sehingga sumsum tulang merespon dengan memerintahkan untuk memroduksi sel darah merah lebih banyak. Gejala yang dirasakan adalah pusing (dizzy)  dan kadang limbung/kleyengan seperti mau pingsan.
Karena darah kental ini juga menyebabkan tekanan pembuluh darah di paru-paru menjadi tinggi. Dalam istilah medis dikenal dengan Hipertensi Paru. Pulmonary Hypertension (PH).  Lebih lengkap tentang Hipertensi Paru dapat dibaca di Menjadi PH Fighter

Phlebotomi merupakan salah satu terapi untuk polisitemia dengan mengurangi volume darah di dalam tubuh sehingga diharapkan jumlah Haemoglobin (Hb) pun akan menurun. Penurunan Hb ini akan berkorelasi dengan penurunan kekentalan darah yang dalam hasil lab biasanya ditunjukkan dengan nilai Hematokrit. Menurut keterangan seorang analis lab, biasanya nilai hematokrit seseorang adalah 3x nilai Hbnya.


Sebatas memaksimalkan ikhtiar! Mudah-mudahan Alloh SWT memberikan kesembuhan.

Senin, 04 Februari 2019

UI, Sebuah Dejavu


Tahun 1995 pertama melihat landmark Universitas Indonesia. Saat itu sedang ngikut Latihan Kepemimpinan di PPPG Bahas Srengseng, melawati bunderan UI studi banding ke SMA 8 Jakarta. Tak berbayang tahun 1997 bisa menjadi mahasiswanya. Mahasiswa Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Universitas Indonesia.

Hidup kadang mengalami dejavu. Kembali mengakrabi bunderan UI, dan suara sirene perlintasan Kereta Api Listik yang dulu dikirain suara apa. Merasakan atmosfer salah satu top tier pendidikan tinggi di Indonesia bagi saya sebuah kemewahan. Seorang anak kampung dengan banyak keterbatasan. 

Jujur saja kuliah di sini adalah lebih berat di sisi perjuangan hidupnya. Survive dari hari ke hari. Maklum sistem kuliah di Politeknik tidak memungkinkan untuk banyak beraktifitas di luar. Secara akademis bisa diikuti walau dengan tergopoh-gopoh. Dapat nilai A sangat sulit disini. Mungkin karena sayanya kurang rajin (dan kurang cerdas) hehehehe. 

Kuliah di sini di kurun waktu 1997-1998 berarti merasakan kenikmatan dan kemewahan orde baru. Biaya kuliah hanya Rp. 500.000 tanpa harus bayar ini itu lagi. Semua sama tidak ada yang menikmati privacy sebagai orang kaya atau karena anugerah kecerdasan. Asal lulus test masuk silakan untuk mengasah diri. Tidak banyak jalur dan tidak banyak alternatif. 

Tibalah goro-goro 1998, reformasi kata orang-orang. Demo-demo mulai marak. Ikut juga lah, walau hanya di dalam kampus. Sekedar menyumbang satu teriakan hidup dan satu kepalan tangan. Jaket kuningku relatif bersih baik keringat maupun emblem UKM.

Amien Rais masih sebatas orator, Faisal Basri biasa dari dulu menyoroti ekonomi. Begitu juga dengan Sri Mulyani. Dua orang ekonom ini berangkat dari moment yang sama tapi nasibnya berbeda. Padahal dari dulu Faisal Basri sudah lebih berkeringan dan lebih dalam terjun ke politik. Ya itulah nasib.

Dua dekade ternyata melihat muara apa yang terjadi pasca goro-goro 1998. Pentolan organisasi ini itu yang subur di saat itu dan aktif di demo ini itu banyak menuai hasil saat ini. Kebanyakan jadi wakil rakyat di berbagai tingkatan dari berbagai organisasi politik. Baju kini kadang beda sama baju dulu, atau baju kini lebih menjelaskan baju mereka dulu. 

Mereka dari dulu berani beda dan wajar apabila kini luar biasa! Mereka berani menanggung resiko. dan memang rata-rata orang berani lebih berhasil...mereka berani mempertaruhkan hidupnya! sama-sama berjuang dalam berbagai bidang kehidupan.

Lha saya memang dulu bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Pemain aman mungkin. Lebih tepatnya pemain aman yang biasa-biasa saja . Yang mood hidupnya banyak ditentukan oleh menang tidaknya AC Milan. Ya wajar saja sekarang juga masih tetap biasa-biasa aja. Ordinary people in ordinary world!

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...