Sejatinya
untuk memutuskan dimana dan bagaimana plasenta anakku dikubur adalah sesuatu
yang sederhana. Namun dua minggu yang
lalu ketika anak keduaku lahir keputusan itu seolah menjadi sesuatu yang
sulit. Hal yang agak aneh jika melihat
posisiku sebagai kepala keluarga yang mempunyai otoritas penuh untuk itu. Aku
masih harus meminta masukan mertua dan mendengar apa kata tetangga. Ritual dan mitos yang ada seputar tatacara
memperlakukan plasenta ikut mempengaruhi bagaimana aku harus membuat sebuah
keputusan.
Pada kasus
tertentu aku cenderung peragu dan mudah terpengaruh!. Sifat ini berpengaruh pada
mekanisme pembuatan sebuah keputusan. Terlalu banyak faktor yang
dipertimbangkan dan terkadang alasan untuk menghindari konflik lebih dominan
dibanding keputusan yang logis. Malah
terkadang aku mengorbankan kepentinganku sendiri demi terciptanya sebuah
harmoni. Karena itu membuat keputusan secara kolektif lebih kusukai.
Sifat ini
terkadang menyiksa. Aku harus berlama-lama
berada di toko ketika dihadapkan untuk membuat keputusan pembelian dengan
banyak pilihan jenis dan motif. Sejarah
kepemimpinan yang kupunyai sebenarnya yang cukup lumayan. Di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas aku pernah menjabat sebagai ketua OSIS. Tapi memang gaya kepemimpinanku sejak dulu
lebih mengedepankan kolektifitas dengan tidak terlalu mengedepankan ego sebagai
seorang pucuk pimpinan. Hal ini
terkadang ditafsirkan orang bahwa aku seorang pemimpin yang lemah dan mudah
dipengaruhi.
Aku adalah
bungsu dari dua bersaudara. Ini mungkin salah satu hal yang membuatku peragu
dan mudah terpengaruh. Aku lebih banyak
disodori sesuatu yang sudah jadi, jarang dilibatkan dari proses awal. Selain itu peringatan dan hukuman yang
diberikan orang tua manakala aku melakukan sesuatu yang kurang berkenan membuat
terkadang membuatku takut untuk melakukan sesuatu.
Sifat itu
harus aku ubah sedikit demi
sedikit. Membuat keputusan sesuatu yang
inherent dari seorang pemimpin. Kemampuan untuk membuat sebuah keputusan secara
cepat dan tepat adalah kemampuan yang harus selalu diasah dan diuji. Aku harus
belajar berkonflik, membuka front! Tentunya bukan sembarang konflik. Tapi
konflik yang dihasilkan dari keputusan yang aku buat. Bukankah sebagai pemimpin
kita tidak akan bisa memuaskan semua orang.
Pasti akan ada orang yang pro dan kontra.
Aku juga
harus berani untuk melakukan kesalahan. Ahli kebijaksanaan mengatakan bahwa orang yang
baik itu bukan orang yang tidak pernah membuat kesalahan. Tapi orang yang
berbuat kesalahan kemudian memperbaikinya.
Tetapi kalau penghapus lebih cepat habis dari pensil artinya kita
terlalu banyak membuat kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar