Bulan Juni berakhir sudah. Bulan yang penuh momentum!
Selain Ramadhan dan Idul Fitri plus mudik dan arus baliknya, di bulan ini
ada Pilkada serentak. Usai sudah hiruk pikuk demokrasi langsung ini. Beres juga pesta demokrasi yang penuh dinamika
itu. Seperti lumrahnya sebuah pesta, semua tidak berakhir ketika hari
berganti! Sisa-sisa dan turunannya akan berlanjut, entah dalam hitungan bulan
atau bahkan tahun.
Seperti laiknya kontestasi yang lain, Pilkada serentak juga
berlangsung riuh rendah. Tapi bagi kita yang maqomnya sehanya sebatas pemilik suara: tidak terkait dan terlibat
langsung, hikmahnya adalah bahwa dalam sesuatu itu jangan terlalu,
sedang-sedang saja, biasa-biasa saja. Sebatas menggunakan
hak, hak lho ya! (maka dinamakan hak pilih, bukan wajib pilih). Memilih yang diyakini. Keyakinan
seseorang terhadap sesuatu memang berbeda. Banyak faktor yang membangun sebuah
keyakinan....dan keyakinan itu seperti cinta! Terkadang merontokkan
logika. Tapi apapun logikanya kepentingan tetap menjadi panglima! Kepentingan diri, keluarga, karir, materi atau apapun itu!
Tapi itulah seninya berbeda. Saling menghormati dan menghargai
adalah pelajaran paling penting dari sebuah perbedaan pilihan. Ketika dukungan
kita menang, hanya sebatas eforia belaka yang mungkin hanya bertahan beberapa
minggu atau paling banter beberapa bulan. Selanjutnya business as usual. Hidup dan kehidupan tetap menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan.
Siapapun yang menjadi pemenang bagi kita masyarakat biasa
tidak akan lama berpengaruh, hanya sebentar saja! Tapi tentu berbeda dengan mereka yang menjadi Tim Sukses, Relawan, Inner Cycle (Ring 1) atau pendukung fanatik salah
satu calon . Mereka akan sangat senang. Harap-harap cemas bercampur peluh berakhir bahagia. Mereka senang
hatinya. Berbanding terbalik dengan mereka yang ada di lingkaran calon yang kalah, sedih dan gundah gulana. Seperti kata mutiara, kemenangan memang banyak saudara tetapi kekalahan itu seperti anak yatim. Tapi seperti hal lain di alam fana, itu juga
tidak akan terlalu lama!!
Pada episode selanjutnya yang panjang, sangat mungkin terjadi
perubahan 180 derajat: Mantan pendukung yang menang, justru jadi kecewa, karena ternyata
figur yang mereka dukung ini tidak sebaik seperti yang mereka yakini sebelum pemilihan. Asa akan mendapat ini itu ketika tak menemui kenyataan akan melahirkan kekecewaan. Mantan pendukung calon yang kalah justru
berbalik menjadi pendukung yang menang, karena ternyata figur itu tidak seburuk yang mereka yakini sebelum
pemilihan. Itu karakter pendukung yang fair, buah dari paduan tata kelola
rasional dan emosional. Sejatinya salah pilih itu bukan ketika calon yang kita
pilih mengalami kekalahan tetapi ketika calon yang kita pilih tidak mampu
menjalankan amanah dan tidak memenuhi janji-janji sebagaimana yang pernah
dikampanyekan. Hal itu membuat banyak kalangan susah move on, akibat keterlibatan yang terlalu intens dan dalam.
Ada yang menang ada yang kalah, itulah hidup! Hal itu
merupakan keniscayaan dalam sebuah kontestasi. Siapapun yang menang harus kita
dukung semampu kita, sebisa kita! Persatuan bangsa ini lebih penting dibanding dengan perebutan kepeng dan
remah-remah kuasa. Seperti yang dikatakan oleh mereka yang menang bahwa
kemenangan ini adalah kemenangan rakyat. Kita harus menggarisbawahi frasa
kemenangan rakyat ini, bukan kemenangan individu apalagi oligarki. Kemenangan seluruh rakyat
harus menjiwai dan mengejawantah dalam seluruh kebijakan para kepala daerah, bukan kebijakan yang hanya mengakomodasi kepentingan oligarki (mereka yang menaruh saham pada sebuah
kemenangan kontestasi politik). Lebih ironi lagi jangan sampai seperti yang
dikatakan Jeffrey A. Winters dalam
Oligarchy-nya bahwa suara rakyat hanya dipinjam melalui bilik-bilik suara
setelah itu oligarki yang bekerja!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar