Sabtu, 06 Oktober 2018

Ada Apa dengan MU



Dari kacamata dinamika Premier League plus filosofi sebuah kontestasi, sejatinya tidak ada yang salah dengan para  pemain Manchester United pun dengan pelatihnya; The Special One, Jose Mourinho. Tapi melihat mereka bertengger di posisi papan tengah klasemen terlihat seperti ada yang aneh. Kompetisi memang baru berjalan 7 pertandingan tetapi rekor  3 kali menang 1 kali seri dan 3 kali kalah tetap serasa tidak pantas.

Kekalahan tiga gol tanpa balas dari Tottenham Hotspur sebenarnya sulit untuk dimaklumi, apalagi terjadi di kandang. Lebih sulit lagi untuk memahami bagaimana MU bisa takluk oleh Brighton & Hove Albion dan Westham United. Kekalahan dari Derby County di Carabao Cup juga menambah hal-hal yang sepertinya hampir mustahil. Tapi itulah menariknya permainan sepakbola, semua tidak melulu soal finansial dan nama besar.

Kalau melihat realitas, perpaduan antara kapasitas Manchester United dan kompetensi Jose Mourinho pasti akan menghasilkan kualitas yang dahsyat. Manajemen dan dukungan keuangan yang mumpuni, taburan pemain bintang yang berkualitas dan loyalitas suporter hampir tidak menyisakan alasan bagi MU untuk tidak berprestasi. Berkaca dari sejarah, dengan kapasitas pemain yang di bawah skuad sekarang pun dulu MU banyak meraih gelar plus permainan yang menarik. Dulu kita sampai bosan nunggu ini tim kapan kalahnya! Namun sekarang MU seolah menikmati betul sebuah kemenangan, walaupun dari tim medioker sekalipun.

Saya bukan fans Manchester United. Saya adalah Liverpudlian. Tapi semenjak Liverpool mengalahkan AC Milan di Final Liga Champion tahun 2003 hubungan saya dengan Liverpool sebatas benci tapi rindu. Maklum Liverpool adalah cinta pertama saya di tanah Inggris dan AC Milan adalah cinta pertama saya di dunia nonton bola. Menjadi Liverpudlian seolah memaksa saya untuk menjadikan Manchester United sebagai rival. Padahal alasan tidak menyukai MU bukan karena rivalitas, dulu mengira julukan The Reds Devil itu milik Liverpool ternyata itu milik Manchester United, itu saja! Jadi ini bukan perkara prestasi atau hal-hal ribet lainnya.

Di balik rivalitas, sejujurnya Manchester United di dekade 90-an adalah bukti apik sebuah etos kerja, budaya organisasi, kebanggaan, disiplin dan loyalitas. Saya kagum dan respect atas pencapaian dan kapasitas MU. Prestasi yang ditoreh saat itu bukan melulu karena membeli pemain mahal, tetapi buah dari pendidikan dan latihan yang terstruktur dan terencana baik.

Sir Alex Ferguson adalah sosok penting  dibalik semua kesuksesan itu. Harus diakui ia jenius dalam perkataan dan perbuatan.  Kekurangannya adalah ia terlalu lama di puncak plus kesuksesannya. Ia seperti telah manunggal dengan MU. Hal itu berakibat buruk. Siapapun suksesor Sir Alex seperti tidak lepas dari bayang-bayang keberhasilan dan sejarah kegemilangan MU. Korban pertama adalah David Moyes. Hanya 8 bulan membesut MU. Ia hanya diberi pilihan untuk menang tanpa diberi kesempatan untuk berproses. Padahal David Moyes adalah pilihan dari Sir Alex Ferguson juga.  

Analisis saya sederhana saja. Kontestasi Premier League sekarang semakin kompetitif. Sebenarnya tidak ada yang kurang dengan Jose Mourinho atau para pemainnya toh menang dan kalah biasa dalam kompetisi. Ekspektasi yang tinggi dari fans dan manajemen klub dan nama besar klub justru seperti membebani pemain. Mereka kurang bermain lepas dan mengeluarkan permainan terbaiknya. Dalam kompetisi yang semakin ketat untuk menjadi pemenang tidak hanya cukup dengan implementasi manual book plus belajar dari masa lalu tapi juga harus punya differensiasi, punya filosofi permainan.  Intinya MU harus mampu mengalahkan diri sendiri dan masa lalunya,  itu saja!


Tidak ada komentar:

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...