Dari kacamata dinamika Premier League plus filosofi sebuah
kontestasi, sejatinya tidak ada yang salah dengan para pemain Manchester United pun dengan
pelatihnya; The Special One, Jose Mourinho. Tapi melihat mereka bertengger di
posisi papan tengah klasemen terlihat seperti ada yang aneh. Kompetisi memang
baru berjalan 7 pertandingan tetapi rekor
3 kali menang 1 kali seri dan 3 kali kalah tetap serasa tidak pantas.
Kekalahan tiga gol tanpa balas dari Tottenham Hotspur
sebenarnya sulit untuk dimaklumi, apalagi terjadi di kandang. Lebih sulit lagi
untuk memahami bagaimana MU bisa takluk oleh Brighton & Hove Albion dan
Westham United. Kekalahan dari Derby County di Carabao Cup juga menambah hal-hal yang sepertinya hampir mustahil. Tapi itulah menariknya permainan sepakbola, semua tidak melulu soal finansial dan nama besar.
Kalau melihat realitas, perpaduan antara kapasitas
Manchester United dan kompetensi Jose Mourinho pasti akan menghasilkan kualitas
yang dahsyat. Manajemen dan dukungan keuangan yang mumpuni, taburan pemain
bintang yang berkualitas dan loyalitas suporter hampir tidak menyisakan alasan
bagi MU untuk tidak berprestasi. Berkaca dari sejarah, dengan kapasitas pemain
yang di bawah skuad sekarang pun dulu MU banyak meraih gelar plus permainan
yang menarik. Dulu kita sampai bosan nunggu ini tim kapan kalahnya! Namun
sekarang MU seolah menikmati betul sebuah kemenangan, walaupun dari tim
medioker sekalipun.
Saya bukan fans Manchester United. Saya adalah Liverpudlian.
Tapi semenjak Liverpool mengalahkan AC Milan di Final Liga Champion tahun 2003 hubungan
saya dengan Liverpool sebatas benci tapi rindu. Maklum Liverpool adalah cinta
pertama saya di tanah Inggris dan AC Milan adalah cinta pertama saya di dunia
nonton bola. Menjadi Liverpudlian seolah memaksa saya untuk menjadikan
Manchester United sebagai rival. Padahal alasan tidak menyukai MU bukan karena rivalitas, dulu mengira julukan The Reds Devil itu milik Liverpool ternyata itu
milik Manchester United, itu saja! Jadi ini bukan perkara prestasi atau hal-hal
ribet lainnya.
Di balik rivalitas, sejujurnya Manchester United di dekade
90-an adalah bukti apik sebuah etos kerja, budaya organisasi, kebanggaan,
disiplin dan loyalitas. Saya kagum dan respect atas pencapaian dan kapasitas
MU. Prestasi yang ditoreh saat itu bukan melulu karena membeli pemain mahal,
tetapi buah dari pendidikan dan latihan yang terstruktur dan terencana baik.
Sir Alex Ferguson adalah sosok penting dibalik semua kesuksesan itu. Harus diakui ia
jenius dalam perkataan dan perbuatan. Kekurangannya
adalah ia terlalu lama di puncak plus kesuksesannya. Ia seperti telah manunggal
dengan MU. Hal itu berakibat buruk. Siapapun suksesor Sir Alex seperti tidak
lepas dari bayang-bayang keberhasilan dan sejarah kegemilangan MU. Korban pertama
adalah David Moyes. Hanya 8 bulan membesut MU. Ia hanya diberi pilihan untuk
menang tanpa diberi kesempatan untuk berproses. Padahal David Moyes adalah
pilihan dari Sir Alex Ferguson juga.
Analisis saya sederhana saja. Kontestasi Premier League
sekarang semakin kompetitif. Sebenarnya tidak ada yang kurang dengan Jose
Mourinho atau para pemainnya toh menang dan kalah biasa dalam kompetisi.
Ekspektasi yang tinggi dari fans dan manajemen klub dan nama besar klub justru
seperti membebani pemain. Mereka kurang bermain lepas dan mengeluarkan permainan
terbaiknya. Dalam kompetisi yang semakin ketat untuk menjadi pemenang tidak
hanya cukup dengan implementasi manual book plus belajar dari masa lalu tapi juga harus punya differensiasi,
punya filosofi permainan. Intinya MU harus mampu mengalahkan diri sendiri dan masa
lalunya, itu saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar