Sticker itu ditempel di belakang helm Mamang Ojol yang kupesan hari ini. Selain jumlah nominal yang diperoleh, penilaian dari pengguna merupakan hal penting bagi para driver Ojol. Tidak sulit dan tidak mahal. Baiknya kita jangan lupa memberi mereka bintang lima. Mudah-mudahan bonusnya lancar.
“Kade hilap bintangna!”
kata Mamang Ojol yang sambil mengangkat lima jarinya, ketika ia pamit mau bekerja lagi. Telah beberapa kali aku menggunakan jasa ojek
online. Lebih praktis dan lebih murah. Dijemput dan kita tidak lagi dihinggapi
perasaan waswas tentang tariff. Jumlah yang harus dibayar tertera jelas. Takut
kurang atau takut dikerjain tidak ada lagi. Perkara kita mau memberi lebih itu
tergantung kita.
Dari perbincangan singkat dengan salah satu Mamang Ojol
didapat informasi bahwa Driver Ojol di Kota Ciamis telah cukup banyak. Ia pun
tadinya Driver salah satu operator Ojol dan sekarang pindah ke saingannya. Operator
yang dulu banyak drivernya sehingga persaingannya cukup ketat. Sudah hampir dua
tahun ia menjadi Driver Ojol. Ketika dihubungi beberapa waktu yang lalu ia
sedang di Pangandaran katanya. Wuih berlibur. Tanda profesi ini cukup
memberikan hasil.
Teknologi Informasi dan komunikasi telah menciptakan
gelombang disrupsi di berbagai lini kehidupan. Termasuk di dunia perojekan. Sekitar
tahun 90an naik ojek itu keren. Tidak sembarangan orang mampu naik ojek. Di banding
dengan angkutan kota atau angkutan pedesaan, ongkos naik ojek lebih mahal. Saat
itu orang masih jarang punya motor. Merek motor yang sering dipakai untuk ngojek
saat itu berupa A100 Suzuki, Suzuki TRS, L2 Super Yamaha, Honda CB. Motor bebek
jarang yang dijadikan Ojek dan rata-rata motor yang dijadikan ojek itu motor
tua.
Kini ceritanya beda lagi. Motor gress pun banyak yang sudah
diterjunkan jadi Ojek. Apalagi OJOL karena salah satu saratnya mungkin harus
motor yang muda. Bagaimanapun Ojol adalah jawaban atas disrupsi. Berubah karena
tuntutan jaman dan permintaan. Tinggal kitanya mau berubah atau tidak.