Tampilkan postingan dengan label DI/TII. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DI/TII. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Maret 2017

Pasir Ipis

Pasir Ipis dari arah pandang Cihaurbeuti
Pasir Ipis adalah legenda. Konon dulu adalah tempat persembunyian Pasukan DI/TII, Gorombolan kalau orang tua kami bilang. Sehingga kurun waktu akhir tahun 1950an sampai 1962an sering disebut jaman Gorombolan atau jaman ngungsi. Jangankan bagi para sejarawan bagi kami sendiri DI/TII sendiri banyak versi. Siapa dan seperti apakah DI/TII. Belum lagi banyaknya faksi di dalam organisasi DI/TII sendiri.  Namun yang jelas bagi mereka yang mengalami jaman itu adalah jaman yang serba salah. Harus terlihat senetral mungkin! karena kalau terlihat memihak tentara malamnya akan menjadi sasaran Gorombolan dan kalau terlihat memihak Gorombolan, siangnya akan menjadi sasaran tentara. 

Suasana di Puncak Pasir Ipis (sumber foto: FB Didin G-Boy
Pasir Ipis adalah salah satu bukit di Kawasan Gunung Sawal, dapat ditempuh 2,5 jam dari Dusun Buniasih Tonggoh, salahsatu Dusun di Desa Cihaurbeuti Kecamatan Cihaurbeuti. Selain aspek sejarah, hal lain yang menarik dari Pasir Ipis adalah adanya mengger (punggung) bukit yang oyag (bergoyang-goyang).  Menegangkan kata yang sudah pernah ke sana. Apalagi kalau angin bertiup kencang. Duh pengen nyoba adventure neh, tapi napas ma lutut kuat ga ya!

Rabu, 03 September 2014

My September, My Life, an Epic....! Part 1

Di rentang waktu tahun 1987 sampai dengan tahun 1993 bagiku Bulan September adalah Bulan Horor. Peristiwa G30SPKI adalah taglinenya! Pemutaran Film Pengkhianatan G30SPKI di TVRI seolah menjadi acara paling dihindari manakala memasuki Bulan September.  Penayangan Film G30SPKI setiap malam 1 Oktober di stasiun  televisi yang hanya satu-satunya saat itu, menjadi momok yang menakutkan. Dari sudut pandang kini aku baru sadar betapa dahsyatnya indoktrinasi rejim orde baru terkait peristiwa itu. Sebelum kami mempunyai televisi masih terbayang jelas bagaimana kami dimobilisasi untuk menyaksikan Film G30SPKI melalui layar tancap Departemen Penerangan di alun-alun desaku. Film yang berakhir shubuh itu merupakan salah satu film yang tidak pernah aku tonton sampai tamat. Selain panjang, ketakutan tak mampu menghapus rasa penasaranku. Mungkin karena saat itu aku masih anak-anak (dan ternyata ini gunanya ada batasan umur dalam setiap tontonan), aku merasa trauma (soak/Sunda).  Perasaan itu terus terjadi sampai menjelang masuk SMA. Saat dimana mulai bisa memahami bagaimana sebuah film dibuat. Satu hal selain visualitas dari Film Pengkhianatan G30SPKI adalah efek musikalitasnya yang legendaris. Menyayat hati sekaligus menakutkan!. Efek traumatik juga dipengaruhi oleh buku koleksi ayahku yang menurutku sangat berpengaruh "Dari Hati Ke Hati". Sebuah buku yang menceritakan peristiwa G30SPKI dari kacamata para istri Pahlawan Revolusi. Buku yang cukup respresentatif tentang kronologis peristiwa tersebut di tempat kejadian. Dapat dibayangkan bagaimana memory effect sebuah buku yang tergolong berat  dan "seram" dibaca oleh seolah anak kecil yang baru belajar membaca. 

Peristiwa G30SPKI sayup-sayup ku dengar. Lubang Buaya, Gerwani, Pemuda Rakyat, Gestapu, Mahmilub adalah kosakata yang sering kudengar dari Ayah dan Ibuku kalau bercerita tentang tragedi 1965. Kata-kata yang baru aku pahami ketika menginjak Sekolah Menengah. Di Mushola kecil di samping rumah dalam perbincangan menjelang shalat isya adalah saat dimana para orang tua kami bercerita tentang dinamika politik masa lalu. DI/TII dan PKI menjadi topik yang membuat hilang kantuk dan waktu sela antara dzikir Maghrib dan adzan Isya terasa singkat sekali.  Bagaimana Ua bercerita  menembaki gerombolan DI/TII dengan senapan dorlok, dibakarnya kampung Cikujang Beet oleh Gorombolan (orang tua kami menyebut DT/TII dengan istilah Gorombolan mungkin karena datangnya selalu bergerombol), cerita mengungsi manakala hari beranjak malam, atau seseorang dengan golok panjangnya yang berjaga di alun-alun kecamatan pasca peristiwa penculikan para jenderal adalah sepenggal cerita singkat yang masih terngiang sampai sekarang. Ada beberapa peristiwa penting sebenarnya yang terjadi di kampung kami, pembakaran pos tentara oleh gerombolan DI/TII di Sampalan (salah satu bukit Gunung Sawal), Penyerbuan tentara Belanda/Agresi Militer Belanda II dimana salah satu kakak ayahku menjadi korban kebiadaban tentara Belanda (ironis mengapa aku kok mengidolakan Timnas Belanda), penambangan timah hitam yang merupakan satu-satunya di Indonesia (fakta ini membuatku terobsesi untuk membuat film dokumenter "Expedisi Lobang Timah") dan lain-lain.

Awal September memaksaku untuk mengingat akhir September 1965.  Masa yang bisa jadi merupakan awal dari keterpurukan sekarang (kalau menganggap kita tengah terpuruk) atau fondasi kegemilangan Indonesia sekarang (kalau memandang Indonesia sekarang sebagai sebuah wajah kegemilangan). Bukankah baik dan buruk itu tergantung siapa dan atas dasar kepentingan apa!. Tidak dalam posisi untuk memvonis siapa salah siapa benar!toh aku bukan saksi sejarah apalagi pelaku sejarah. Di alam mahsyarlah kita kelak akan menyaksikan kebenaran absolutnya. Bukan katanya, menurut, berdasarkan, dan bebeberapa kosakata lain yang menggambarakan kenisbian.  Aku hanya menyaksikan buku-buku tebal berjilid merah, menumpuk di salah satu ruangan kantorku dulu. Kini buku-buku itu telah berdebu dan nyaris tak terawat. Padahal buku itu dulu pernah menjadi buku sakti yang bisa membuat seseorang terpuruk, seperti seorang pria tua yang bolak-balik ke kantor kami dulu menuntut keterangan bahwa dia tak selayaknya ada di salah satu halaman buku tebal dan berdebu itu. Aku hanya termangu sambil tafakur kecil sambil mengingat sebuah kutipan yang aku juga sudah lupa siapa yang mengatakan  tapi kalimatnya masih jelas "bahwa sejarah masih tetap ditulis oleh mereka yang menang!".



Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...