Tampilkan postingan dengan label Dialog Imajiner dengan Pak Harto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dialog Imajiner dengan Pak Harto. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Maret 2021

Dialog Imaginer dengan Pak Harto (1)



Saya lahir di jaman Pak Harto,
Tumbuh dan berkembang.
Sekolah dari SD sampai di Perguruan Tinggi,
selalu di sekolah negeri.

Nyaris tidak ada yang kurang.
Tatanan hidup terpola baku.
Sekolah, kuliah...terus bekerja.

Kegelisahan kadang terpacu kegenitan intelektual masa muda.
atau kebinalan berpikir pribadi yang sedang mencari eksistensi.
sambil mengikuti alur
kadang diselipi pertanyaan nakal.
mengapa bupati, gubernur dan walikota rata-rata tentara.
mengapa masa jabatan presiden tidak dibatasi.
UUD mengatur kebebasan berpendapat tetapi masih ada embel-embel bertanggung jawab.

Saya bukan orang yang neko-neko di jaman Orba,
sehingga tidak pernah bermasalah.

Tulisan ini diilhami oleh Rubrik "Dialog Imajiner dengan Bung Karno", sebuah proses kreatif Mbah Emha Ainun Nadjib di Tabloid Detik yang kemudian jadi Detak kurun waktu 1994-1997. 

Tabloid itulah yang membuka khasanah berpikir ilmu politik sekaligus pemicu mengapa menyukai hal-hal terkait politik.

Eksistensi pemikiran dan tindakan seseorang terkadang menemui titik rindu ketika orang tersebut tidak ada. Bisa menjadi sebuah sintesa kadang juga antitesa. Seperti Orde Baru vis a vis Orde Lama. Atau sekarang Orde Reformasi yang berhadapan dengan romantisme Orde Baru.

Berbahagialah orang yang dianugerahi Tuhan kesempatan untuk menghirup nafas di era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pengalaman dan penilaiannya akan empirik. Walau kadang bisa saja subjektif karena keberadaan kita terkadang tergantung kita ikut siapa dan dapat apa.

Dewa Slide :
"Bagaimana pandangan Bapak terhadap kekuasaaan, apakah ia sebuah takdir atau bisa diusahakan untuk dicapai".

Pak Harto :
"Kalau Kang DS membaca alur hidup saya dari autobiografi yang pernah dipublikasi menunjukkan bahwa saya itu bukan ningrat!". "Darah saya adalah darah rakyat kebanyakan".

"Tak tebersit jadi ini jadi itu. Tapi memang peristiwa tanggal 1 Oktober itu adalah turning point. Sebelumnya, secara karir saya seperti sudah habis".

"Ada orang yang mengatakan saya oportunis! Tapi saya cenderung menganggap sebagai hoki. Dan harus Kang DS catat apa yang saya lakukan di 1 Oktober dan hari-hari selanjutnya adalah spekulasi. Kita tidak tahu angin akan bertiup ke arah mana. Saat itu itu banyak yang menunggu perkembangan situasi di Jakarta. Justru merekalah yang opportunis. Saya memutuskan dipihak yang berseberangan di kala belum jelas siapa yang akan menang. Disitulah strategi dan pengalaman komando, teritorial dan manajerial berperan". 

"Saya melakukan apa yang saya yakini benar".


Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...