Kamis, 22 Juni 2017

Dulag


Jualan Kulit Bedug di Maleber Ciamis

Salah sahiji kaarifan lokal atawa urf di bulan puasa jeung lebaran nyaeta ngadulag. Mun urang ngadulag di poe-poe biasa pasti teu galib tur disangka nu lain-lain. Pangdianti-antina sora dulag nyaeta sora dulag pas malem takbiran! Nungtrung silih tembal patarik-tarik jeung sora anu takbiran. Sora pepetasan (sok sanajan dilarang) aweur jeung kabungah hate! Isukan lebaran!

Teu sakabeh jalma bisa ngadulag. Teu aya ugeran atau pakem khusus tatacara ngadulag. Nu penting rada aya wirahma jeung variasi. Mun kolot ngadulag biasana anca, beda jeung gaya ngadulag budak ngora, powerpull kadang nepika kulitna soeh. Sakaapal kuring basa keur budak pangjagona ngadulag di Sukamaju nyaera Kang Ucu, ngadulagna lila teu eureun-eureun. Duka ayeuna mah sigana moal kuat kawas baheula da geus umuran.

Rata-rata kulit dulag tina kulit sapi, jarang tina kulit munding, komo kulit buaya mah! 
Ari rek lebaran sok aya istilah baju dulag, sendal dulag! Eta meureun kusabab urang meuli baju pakeun lebaran, dimana ciri khas lebaran sok ngadulag!

Aya oge paribasa anu make kecap dulag,
Jauh ka bedug anggang ka dulag, anu hartina urang lembur anu jauh ka dayeuh!

Wilujeng Ngadulag

Jumat, 16 Juni 2017

10000 Jam Lebih Jadi PNS!


Menurut Pak Budi Rahardjo dalam tulisannya (Sepuluh Ribu Foto), ada satu teori yang menyatakan bahwa kalau seseorang mengerjakan sesuatu sudah 10000 jam atau 4.8  tahun maka orang tersebut akan mempunyai kemampuan yang cukup dalam bidang tersebut sehingga bisa dikatakan sebagai ahli! Saya sudah melewati milestone tersebut sebagai seorang ambtenaar.  Jam terbang saya sebagai seorang birokrat sudah lebih dari 10000 jam sudah  lebih dari 20000 jam malah sudah berhak mendapat Satya Lencana Kesetiaan 10 Tahun (tapi saya belum dapat nih, kan lumayan buat angka kredit) !Lalu, apakah saya cukup ahli sebagai seorang Pangreh Praja! Susah juga jawab pertanyaan itu! Telah menjadi pakarkah saya?

Yang jelas perjalanan waktu selama satu dekade tersebut telah memberikan banyak pengalaman! Tambahan ilmu dan kesempatan belajar! Semakin mengerti dan memahami apa dan bagaimana dunia birokrasi! Belajar dalam sebuah dinamika kehidupan. Sepuluh ribu jam lebih jadi ambtenaar akhirnya dapat membenarkan apa yang pernah dinasehatkan seorang syeikh lebih dari setengah abad yang lalu "Janganlah engkau berambisi menjadi pegawai negeri. Anggaplah itu sebagai pintu rejeki yang paling sempit. Akan tetapi jangan menolak bila diberi peluang untuk itu, dan jangan meninggalkannya kecuali bertentangan dengan tugas-tugas dakwah".

Sepuluh ribu jam jadi lebih PNS (ditulis dengan huruf besar bukan maksud sekedar mengindahkan EYD, tetapi harapan memang layak ditulis dengan huruf besar) lebih banyak disibukan dengan ikhtiar menjaga hati tetap hidup. Kaki yang ringkih dan jiwa yang tak sempurna ini tertatih-tatih untuk dapat berdiri mempertahankan sejumput idealisme yang masih tersisa. Perjuangan itu pula yang kadang membuatku terasing dan atau mungkin "diasingkan". Sudah biasa aku menghadapi cibiran, pandangan sinis dan perilaku tidak menyenangkan. Bertebaran onggokan senyuman yang tak mampu kumaknai dengan pasti. Entah ketulusan atau "mupuas".

Episode hidup ini  mengingatkan pada salah satu judul masterpiece Pramudya Ananta Toer, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" Aku mengagumi Pram sebagai seorang Maestro Sastra, tidak lebih! untuk ini mudah-mudahan aku ga dianggap "kiri". Ya, aku tak lebih dari seperti nyanyi sunyinya seorang bisu dalam sebuah keramaian! kalau Pram bercerita tentang ketidakberdayaannya menghadapi kesewenangan dan kezaliman sebuah rezim. Aku masih sangat beruntung bila dibanding Pram!
Aku tidak menghadapi sepatu lars dan popor senjata!
Aku tidak mendengar bentakan perintah bercampur amarah, caci maki serta sumpah serapah!
Aku tidak berada di Pulau Buru!
Aku masih bisa menulis! (walau kadang ada perasaan takut juga hihihi).

kata orang aku seperti bisu karena kurang mampu berbicara dengan bahasa yang banyak digunakan orang!
konon katanya aku seperti tuli karena kurang mau mendengar bahasa kebanyakan orang!
katanya aku seperti lumpuh karena berusaha tidak  melakukan apa yang dilakukan banyak orang.
banyak yang bilang aku orang aneh....koppig alias keras kepala!
ya begitulah, kata orang, yang belum tentu tepat benarnya!

Sebenarnya asaku sederhana saja, aku  hanya ingin "dimanusiakan"
dan butuh ruang untuk belajar menjadi manusia....manusia yang merdeka jiwa dan raganya!
Aku mencintai daerah ini, negeri ini, tanah ini......bangsa ini! dengan cara yang sederhana dan nyaris tanpa basa-basi sehingga terkadang salah dimengerti!

Cihaurbeuti, 31 Desember 2015. Kisah dibalik penggenapan sembilan bulan!

Senin, 12 Juni 2017

New Hope


Memandang langit dari tempat baru,
masih biru dan bertabur rindu!
Memandang awan dari sudut baru,
masih putih berhias asa!
Memandang Sang Merah Putih dengan semangat baru,
masih gagah berkibar, tegak menolak tunduk!

Untuk Tuhanku,
Penghambaan terbaikku!

Ikhtiarku,
Pengabdian terbaikku!

Bismillah,
Bi'idznillah!

Sabtu, 03 Juni 2017

Schole....(By. Goenawan Muhammad)



Bu, doakanlah saya, yang sedang menempuh ujian SKALU. Aku telah berhari-hari mempersiapkan diri untuk berkelahi diam-diam - untuk melangkahi ribuan anak lain yang berduyun-duyun di tempat luas ini.

Tahukah ibu betapa panjang rasanya ketidakpastian itu! Dua tahuh di kindergarten. Enam tahun di sekolah dasar. Enam tahun di sekolah menengah. Lalu: ketidakpastian diterima atau tidak di universitas yang baik. Setelah itu, kembali ketidakpastian menyiapkan masa depan di bangku kuliah.

Apa makna pendidikan seperti ini, ibu? Kesesakan yang tak putus-putusnya? Dulu konon, orang menyebut sekolah dari kata schole bahasa Yunani. Konon pulakata itu berarti semacam waktu senggang, kesempatan sang guru dan sang murid saling bertemu, memberi dan menerima. Kini, waktu senggang justru semacam pengkhianatan terhadap sekolah. 

Anakku, buka cuma kamu yang mengeluh. Di seluruh dunia orang tidak tahu lagi kata schole seperti itu. Orang Jepang menyebut masa testing sebagai shiken jigoku "neraka ujian". Tiap tahun 700.000 murid mencoba menerobos ke universitas, tentu saja memperebutkan yang top. Tapi di Todai, Universitas Tokyo, hanya ada 14.000 tempat.

Persaingan itu anakku, memang mengerikan. Sejak umum enam tahun anak-anak Jepang harus menghadapi pelajaran tujuh jam sehari - dan selama 12 tahun mereka harus demikian. Mereka belajar tak putus-putusnya dan menambah jam yang mencekik itu dengan les tambahan dalam juku. 

di waktu malah, ada anak-anak yang karena takut mengantuk, membiarkan diri diguyur air dingin di kepala. Mereka tak boleh terlalu enak beristirahat. Mereka harus siap untuk sekolah tinggi yang baik, yang berarti jabatan di perusahaan baik. Mereke harus keras.

Pernah ada sebuah universitas yang mengirim surat penolakan terhadap calon mahasiswa yang gagal: "Anda tak dapat terus hidup kalau anda tidak tangguh." Tak heran bila di Jepang sana dari tiap 100.000 anak remaja terdapat 17 kasus bunuh diri.

Tapi, nak, barangkali itulah bayaran bagi Jepang. Inilah negeri yang disebut No. 1 ....... 

Tapi tidakkah itu juga negeri para robot, makhluk cetakan yang hanya disiapkan untuk perusahaan raksasa? Bukankah pendidikan ialah untuk menumbuhkan kepribadian, memperkaya rohani, melatih akal budi dan penalaran? Memelihara terus peradaban manusia.

Sayang sekali anakku, analisa ekonomi neoklasik akhirnya menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara industri di abadi ke-20 ini adalah berkat investasi dibidang ketenagaan. Sekolah pun menjadi semacam pabrik, dan sekaligus alat penyaring. Masyarakat, kata orang, mencari yang paling produktif dan paling sanggup untuk meningkatkan pertumbuhan baru. Mereka membuka pintu, untuk mendapatkana suatu lapisan terpilih. 

Tentu pintu itu sempit, anakku. Ingatkah kah cerita Napoleon yang menyuruh tiap serdadunya menyimpan sebatang tongkat komando? Dikatakannya bahaw, dengan itu kepada mereka terbuka kesempatan untuk menjadi jenderal. Tapi berapa gelintir yang bisa dipucuk yang tinggi itu? Sebagian besar mereka tewas. Hilang, tenggelam.

Demikian pula yang terjadi dengan sekolah dan kesempatan kerja. Maka ketika kian banyak tenaga yang datang berduyun-duyun maul melewati pintu yang sempit itu, makin banyak pula rintangan yang dipasang. Dulu tak ada ujian SKALU, Dulu tiap ijazah hampir berarti jaminan ke sekolah yang  lebih tinggi. Kini semua itu tidak berlaku lagi. Alat-alat penapis baru disiapkan. Tentunya saja untuk itu biaya bertambah: masyarakat harus membayar ekstra - sementara tak berarti tenaga yang lolos leibh akan produktif akibatnya. Tapi mereka tak mengeluh juga rupanya. 

Kenapa mereka tak juga mengeluh, ibu? Kenapa tak cari jalan lain?

Karena pilihan masih lebih luas dari sekedar atau - jadi - robot - harakiri, anakku, dan itu berarti harapan, mungkin setelah kegagalan. Setidaknya itulah do'aku, anakku, dan rasa syukurku.

Catatan Pinggir
Goenawan Muhammad
3 Juli 1982

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...