Wabah penyakit seperti pada umumnya.
Kematian yang disinyalir dipicuk oleh virus itu pun dipandang hal yang juga biasa saja.
Sudah takdirnya.
Apa itu pandemi dan bagaimana kita menyikapi pandemi.
Kurang banyak diberitahukan.
Tidak banyak yang tahu.
Tapi tidak sedikit yang tidak mau tahu, tidak ingin tahu.
Terlalu dilebih-lebihkan.
Itu sepertinya kata yang tepat untuk menggambarkan sudut pandang mereka.
Pernyataan bahwa pandemi itu merupakan sebuah mekanisme seleksi alam mungkin terdengar bak bait kidung para intelektual yang bahasanya terlalu rumit bagi mereka.
"Kami tiap hari berjuang untuk hidup Pak!'.
Adagium survival of the fittest!
tesis bahwa mereka yang mampu beradaptasilah yang akan bertahan, tak lebih menjadi sajak yang diperdengarkan di tengah terik matahari.
Tak banyak yang peduli.
Pandemi bagi mereka lebih ke terganggunya pendaringan.
Sumber pendapatan, modal kehidupan.
Persepsi negatif terhadap hal yang berbau pandemi paling terasa berasal dari para pedagang.
Turunnya omset dan malah tutupnya gerai dan lapak bisnis yang selama ini menjadi andalan mereka untuk hidup memang pukulan yang berat.
Menurut pemikiran saya yang sempit.
Kita memang harus merubah strategi menghadapi pandemi ini.
Berpikir dan bertindak dengan berdasar situasi ril kita di lapangan.
Kita diprediksi bahwa pandemi ini akan menjadi epidemi maka kita harus mulai melangkah.
Ekstensifikasi bidang kesehatan yang meliputi sarana prasarana dan tenaga kesehatan.
Pendirian rumah sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat dengan fasilitas rawat inap dan sebagainya.
Langkah lain adalah fokus ke peningkatan standar kesehatan masyarakat.
Edukasi, subsidi vitamin dan obat-obatan, serta penguatan PHBS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar