Tampilkan postingan dengan label Orde Baru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Orde Baru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Agustus 2019

Antara BK dan PH


Kedua buku tersebut ada di perpustakaan sekolah-ku.
Jujur saja saat itu lebih renyah membaca biografinya Bung Karno (BK) karya Cindy Adams.
Maklum saat masa pencarian jati diri biasanya kita cenderung memilih jati yang berbeda, jati yang tidak kebanyakan.
Masa-masa berbaju putih abu adalah saat-saat kejayaan orde baru, dan aku agak anti mainstream...memilih untuk ga terlalu ngorba!

Ketika jaman Orba, Ngorla itu seksi.
hampir sama dengan Ngiri itu seksi.
Nanti akan ada masanya (Eh sekarang sudah mulai ding... Ngorba itu seksi)
Sesuatu akan lebih kita kenang ketika telah berlalu.
.....Kalau sudah tiada, baru terasa (kalau ini Ngrhoma).

Aku harus berterima kasih pada Orde Baru.
Mungkin karena aku orang biasa, ga nyleneh, ideologi juga nengah.
Jadi ga pernah ngerasa direpresip-in Orba.
Hidup di masa orde baru terasa fine-fine aza,
Rajin belajar, gemar menabung, rela menolong dan tabah merupakan semboyan perjuangan.

Nyari yang aneh ya baca buku-buku atau artikel tentang yang berbeda dengan berita RRI, TVRI atau koran Suara Karya.
Seragam suara rakyat karena harga beras, ikan asin, dan cabe keriting dilaporkan tidak bergejolak.
Ternyata suara-suara yang aneh dulu adalah kini  mereka yang kini suaranya seragam.
Hidup terkadang hanya perkara subjek atau objek.
Diburu atau memburu....

Bagaimanapun Orba itu ngangenin,
Serba murah, relatif aman,  tatanan kehidupan relatif terkelola walau dunia rasanya hanya milik ABRI, Birokrasi  dan Golkar.
.....dan melihat fenomena sekarang
sepertinya banyak hal dan orang yang akan Ngorba pada akhirnya....

Kamis, 24 Januari 2019

Melek Politik

Tabloid Detik.
(sumber: youtube.com)
Entah kenapa aku suka politik. Sejak dulu, sejak orde baru. Padahal aku termasuk yang merasakan dekapan "indahnya dan nikmatnya orde baru'. Hidup normal dalam tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan yang stabil. Namun tidak normal dalam pandangan sebagian mereka yang kritis. Penuh kesewenang-wenangan bagi mereka yang terpinggirkan dan lawan politik yang memilih berseberangan. Hidup yang viveri vericoloso bagi mereka yang mencoba berbeda warna dan tidak ikut arus utama (mainstream).

Tabloid Detik merupakan salah satu media non mainstream yang menjadi referensi politikku saat itu. Selain ayah, tabloid Detik adalah mentor politikku. Menyisihkan uang jajan sekedar untuk mendapat pencerahan dan pendapat berbeda tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dulu aku pengagum Sukarno. Selain Iwan Fals dan Luna Maya, posternya menghiasa dinding karmarku. Di sampinglaporan utama rubrik yang menarik dari Tabloid Detik adalah Dialog Imajiner dengan Bung Karno. Aku terinspirasi bikin Dialog Imajiner dengan Pak Harto.

Rubrik ini ditulis oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun). Sejak dulu ia selalu memilih di luar jalur. Hampir menyangka mau mendekati kekuasaan di penghujung orde baru, tapi ternyata tidak.

Isi tabloid ini lebih menyuarakan nada-nada yang berseberangan dengan pemerintah. Mengekspose tokoh-tokoh yang agak berbeda. Agum Gumelar dan Hendropriyono termasuk aparat pemerintah yang dulu memberi angin kepada mereka yang bersebrangan. Posisinya dan sikap politik dalam bandul kekuasaan kini merupakan penjelasan dari sikap politiknya dulu.

Bersikap "berseberangan" itu terkadang menguntungkan terkadang merugikan. Tergantung siapa yang menang. Berpolitik adalah sebuah jalur percepatan. Namun kalau patron politiknya dalam posisi tidak menguntungkan, ia akan mengalami perlambatan.

Tapi berpolitik itu harus siap lahir batin. Fisik dan mental. Sebab politik hanya mengenal menang kalah. Kalau menurut pepatah Sunda, berpolitik itu mending sineger tengah, ulah hareup teuing ulah tukang teuing. Ah! Hidup itu adalah pilihan.

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...