Itulah judul tabloid GO (salah satu anak usaha Bakrie Group) pada dekade 1990an yang mengenalkanku pada sosok Nil Maizar. Center Back sekaligus Kapten Tim Semen Padang, salah satu kontestan Liga Indonesia I 1994-1995 yang saat itu baru baru meleburkan kompetisi galatama dan divisi utama perserikatan. Kualitas Uda Nil tercermin dari judul tabloid tersebut, seorang sosok yang matang baik dari segi teknis, pengalaman dan mentalitas kepemimpinan.
Sebuah siklus yang normal manakala seorang pemain sepakbola selepas gantung sepatu ia berkiprah di dunia ke pelatihan. Banyak pelatih sepakbola top saat ini yang mempunyai sejarah cemerlang sebagai pemain sepakbola. Begitu juga dengan Nil Maizar, Karir kepelatihannya di Semen Padang begitu berkarakter sebagaimana karakter dia sewaktu masih aktif bermain bola.
Tulisan ini tidak bertendensi untuk memihak kepada salah satu pihak yang berkepentingan di PSSI, saya hanya menulis nilai-nilai luhur olahraga yang diekspresikan baik berupa perbuatan maupun komentar-komentar seorang Nil Maizar. Dia dipercaya menjadi seorang pelatih Tim Nasional pada saat silang sengkarut sengketa di PSSI begitu akut. Bukan waktu yang salah, tapi tantangan yang beliau hadapi sangat besar. Keterbatasan memilih pemain, dana yang kurang memadai, dukungan masyarakat bola yang terpecah dan lain-lain. Tapi ini tidak membuat Nil Maizar gusar, apalagi surut kebelakang. Dengan segala keterbatasan, leadership skill yang mumpuni ia tunjukkan dengan kerja keras di lapangan. Kemenangan atas Singapura di AFF Cup kemarin bagi saya merupakan prestasi beliau. Kemenangan yang tidak bisa dilakukan oleh pendahulunya, setidaknya dalam 12 tahun terakhir. Tidak pernah menyalahkan pemain ditengah caci maki mereka yang membenci. Komentar-komentar Nil Maizar bagi saya cukup menyejukkan dan membangun. Kehilangan jabatan sebagai pelatih Tim Nasional juga tidak membuat kehilangan kesantunan dan respect, ia mendukung pelatih yang ditunjuk dan mengapresiasi apa yang telah ditunjukkan Timnas ketika melawan Saudi Arabia.
Terus berdedikasi dan rendah hati Uda Nil Maizar!saya banyak belajar dari anda!kita harus percaya bahwa kalau kita memang butiran emas, dimana pun kita berada akan tetap sebagai emas!
Tampilkan postingan dengan label PSSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PSSI. Tampilkan semua postingan
Selasa, 26 Maret 2013
Sabtu, 05 Januari 2013
SEPAKBOLA POLITIK DAN POLITIK SEPAKBOLA
Usai sudah pesta sepakbola empat
tahunan di benua biru. Spanyol menasbihkan diri sebagai satu-satunya negara
yang mampu meraih piala henry delauney dua kali berturut-turut, setidaknya
sampai dengan saat ini. Selain itu juga La
Furia Roja berhasil mencatat hattrick
tiga trophi utama dalam jagat sepakbola, Piala Eropa Tahun 2008 yang dihelat di
Swiss dan Austria, Piala Dunia dua tahun yang lalu di Afrika Selatan dan Piala
Eropa tahun 2012 di Polandia dan Ukraina.
Sepakbola adalah lingua franca, bahasa universal yang
bisa dipahami di berbagai pelosok bumi. Walaupun secara geografis turnamen nun
jauh di Polandia dan Ukraina sana, tapi gaung dan atmosfirnya sampai ke
pelosok-pelosok negara kita. Kita mendaulat sepakbola sebagai olahraga
favorit. Para penggemar bola rela menghabiskan
malam di depan layar televis, berkorban harta dan bahkan nyawa demi mendukung
tim kesayangannya. Walaupun belum
menjadi agama kedua seperti di Brasil, sepakbola di Indonesia nyaris selalu menjadi
tema utama pembicaraan baik di warung kopi pinggir jalan atau caffe-cafee di
daerah elit.
Turnamen sepakbola pun marak di
negeri ini, mulai yang mengklaim sebagai liga dengan kasta tertinggi sampai
dengan liga tingkat RW, walaupun terkadang kebanyakan dari perhelatan itu
berakhir keributan dan mewariskan benih-benih permusuhan yang makin lama makin
akut. Keberpihakan dan ketertarikan pada
sebuah klub sepakbola atau negara
melahirkan fanatisme. Berkumpulnya
orang-orang yang mempunyai fanatisme yang sama melahirkan kelompok pendukung
atau fans club. Ditilik dari sisi kapitalisme
kelompok-kelompok itu adalah pasar potensial.
Bagi seorang politisi atau organisasi politik, kumpulan orang-orang itu
adalah calon pemilih potensial yang dengan fanatismenya dapat dirayu untuk
suatu kepentingan politik tertentu.
Sepakbola Politik
Ada
dua hal yang menyebabkan sepakbola dan politik
mempunyai relasi komplementer, pertama adanya massa (suporter) dan kedua adanya
sponsor (baca uang). Percampuran dua sumber unsur itu membuat sepakbola menarik
dan memainkan banyak kepentingan. Maka jangan heran kalau kita banyak menjumpai
bilboard yang bergambar tokoh politik
dengan kaus tim sepakbola klub tertentu, atau nama dan gambar tokoh yang
terpampang megah di sebuah stadion sepakbola, atau calon kepala daerah yang
berkampanye menjanjikan pembangunan stadion baru. Ini bukti sepakbola politik,
sepakbola yang dijadikan alat politik.
Prestasi sepakbola sebuah klub
atau negara akan ikut mengangkat popularitas figur tokoh politik tersebut, itu
mungkin manfaat di satu sisi. Di sisi yang lain klub akan mendapat fasilitasi
dari tokoh tersebut terkait beberapa kemudahan yang dibutuhkan. Sepengetahuan
penulis fakta politik yang membuktikan keterkaitan itu adalah ketika Silvio Berlusconi berhasil menjadi Perdana Menteri Italia dan Partai Forza Italia yang ia pimpin
memenangkan Pemilu Italia. Menurut para pengamat politik keberhasilan Silvio
Berluconi dan Parta Forza Italia tidak lepas dari persepsi positif publik
Italia terhadap keberhasilan AC Milan, sebuah klub sepakbola yang dimiliki oleh
Silvio Berlusconi. Untuk tataran lokal fenomena seperti ini terjadi pernah
terjadi di salah satu kabupaten di Jawa Timur, persepsi masyarakat dan
kebanggaan terhadap salah satu klub di sana ikut mengangkat popularitas seorang
tokoh politik yang ikut berkecimpung di klub dan kemudian memenangi pemilihan
kepala daerah di sana. Walaupun belum ada bukti penelitian yang valid dan teori
yang dapat dipercaya, tapi sepakbola tetap dipercaya dapat menjadi alat
politik.
Politik (baca kepentingan) yang
lain dalam sepakbola adalah uang. Bagi para pengusaha, penggemar sepakbola
adalah pasar potensial. Pemain sepakbola yang berprestasi adalah idola, ini
juga sama dapat digunakan untuk mempengaruhi khalayak. Tak mengherankan bila
sekarang lapangan sepakbola penuh dengan iklan. Bintang sepakbola menjadi
bintang iklan. Hak siar pertandingan sepakbola menjadi tambang uang yang
menggiurkan, hal ini pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab
konflik kepengurusan PSSI yang tak kunjung usai. Padahal konon dulu pendirian
PSSI adalah sebagai alat perjuangan untuk melawan kolonialisme Belanda. Kini
PSSI seolah menjadi alat perjuangan kepentingan tertentu, kelompok tertentu dan
partai politik tertentu. Ego pribadi dan
kelompok lebih mengemuka. Fanatisme klub membuat kita bermusuhan dan entitas
kita sebagai bangsa justru terpecah oleh sepakbola, ironis.
Filsafat Sepakbola dalam Pilkada
Sepakbola
tanpa penonton dan pendukung nyaris seperti partai politik tanpa konstituen
atau pemimpin tanpa massa, hambar dan nyaris tak berarti. Sebuah klub menjadi
besar dengan prestasi, kita tidak akan tahu dan nge-fans kalau misalnya Persib tidak pernah menjadi juara. Manchester
United, Juventus, Liverpool, Barcelona, Real Madrid, AC Milan dan klub-klub
Eropa lainnya tidak akan banyak mempunyai fans di Indonesia kalau mereka tidak
pernah menjadi juara. Prestasi akan
mengundang pendukung dan banyaknya pendukung itulah yang menarik para sponsor
untuk menanamkan uangnya.
Pendukung pulalah yang menjadikan
partai politik atau pemimpin menjadi kuat tetapi dalam politik justru logikanya
menjadi terbalik. Justru uang yang akan menarik pendukung. Mungkin dikarenakan di dalam politik sekarang
sudah sedemikian transaksional sehingga sangat sulit untuk menemukan makan
siang yang gratis, maka partai politik dan tokoh politik tanpa modal materi
yang memadai, jujur saja, susah mendapatkan pendukung. Padahal banyaknya peserta kampanye,
bertebarannya posko dan baligo dapat menimbulkan efek hallo persis seperti
pengumuman survei sebelum Pemilu atau Pilkada dilakukan, orang akan cenderung
memilih yang massanya banyak dan diprediksi bakal menang. Mental Nanglu (meunang milu) masih melekat di
masyarakat kita.
Tapi lepas dari semua itu ada hal
yang menarik dari kultur sepakbola Eropa yang bila diterapkan dalam perhelatan
demokrasi (termasuk pilkada di dalamnya) akan membuat Pilkada menjadi lebih
bermakan. Fair Play! Seperti permainan sepakbola, Pilkada juga akan
menghasilkan yang menang dan kalah. Namun
sayang, sepakbola dan politik kita masih belum mau mesra dan bercengkrama
dengan kata kalah. Kalah masih dianggap aib dan barangsiapa yang menimpanya
maka seolah menjadi rendah dan terhinakan.
Mengakui tim sepakbola lawan bermain lebih baik masih menjadi barang
mewah bagi para pelaku sepakbola kita.
Begitu juga ketika Calon
Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota kalah dalam pemilihan. Bukan pintu rumah pemenang yang pertama
disambangi sambil mengucapkan selamat dan siap mendukung, justru pintu Mahkamah
Konstitusi yang diketuk diiringi dengan tudingan curang dan demontrasi
menyalahkan pihak lain. Sikap Seperti
Cesare Prandelli atau Joachim Loew yang mengakui lawan lebih baik dan menjadi
pelajaran untuk melangkah ke masa depan menjadi hal istimewa bari kebanyakan
para pemimpin kita.
Sepakbola juga mengajarkan
bagaimana kita menghormati aturan main. Ada pelanggaran, offside, tendangan
penalti, kartu kuning dan kartu merah. Eloknya dalam politik pun seperti itu,
ada etika dan pantang menghalalkan segala cara. Seperti halnya dalam permainan
sepakbola, tim yang bermain baik tidak selalu jadi pemenang. Tapi kita akan
tetap mengenang sebagai tim yang baik. Kalau
tidak mengikuti aturan, bisa saja tim yang menang dan punya pendukung
banyak didiskualifikasi.
Hal lain dari filsafat sepakbola adalah kolektifitas,
kebersamaan. Bagi kita artinya
persatuan. Dinamika demokrasi seperti Pilkada hendaknya tidak melupakan
keberadaan kita sebagai sebuah bangsa.
Tujuan kita berbangsa dan bernegara kita terlalu besar untuk dikalahkan
apalagi dikorbankan oleh tujuan pribadi dan golongan. Seperti halnya sepakbola, maka Pilkada
seperti hanya kehidupan dunia ini tetaplah hanya sebagai permainan, tidak
lebih.(Tulisan ini pernah dikirimkan ke media cetak, tapi ga dimuat hikshikshiks(.
Langganan:
Postingan (Atom)
Hanya Alloh yang Maha Tinggi
Ketika kita meninggi, sekitar kita akan terlihat di bawah. Manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda akan terlihat kecil. Kalau tidak mawas d...
-
Hari ini di kantor ada perpisahan rekan kerja yang akan memasuki masa pensiun mulai bulan Oktober besok. Masa kerja lebih dari tiga puluh t...
-
Salah satu tempat yang menarik di Situs Cagar Budaya Karang Kamulyan Ciamis adalah Patimuan. Situs Cagar Budaya Karang Kamulyan berada...