Tampilkan postingan dengan label Spanyol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spanyol. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Januari 2013

SEPAKBOLA POLITIK DAN POLITIK SEPAKBOLA



Usai sudah pesta sepakbola empat tahunan di benua biru. Spanyol menasbihkan diri sebagai satu-satunya negara yang mampu meraih piala henry delauney dua kali berturut-turut, setidaknya sampai dengan saat ini. Selain itu juga La Furia Roja berhasil mencatat hattrick tiga trophi utama dalam jagat sepakbola, Piala Eropa Tahun 2008 yang dihelat di Swiss dan Austria, Piala Dunia dua tahun yang lalu di Afrika Selatan dan Piala Eropa tahun 2012 di Polandia dan Ukraina.
Sepakbola adalah lingua franca, bahasa universal yang bisa dipahami di berbagai pelosok bumi. Walaupun secara geografis turnamen nun jauh di Polandia dan Ukraina sana, tapi gaung dan atmosfirnya sampai ke pelosok-pelosok negara kita.  Kita  mendaulat sepakbola sebagai olahraga favorit.  Para penggemar bola rela menghabiskan malam di depan layar televis, berkorban harta dan bahkan nyawa demi mendukung tim kesayangannya.  Walaupun belum menjadi agama kedua seperti di Brasil, sepakbola di Indonesia nyaris selalu menjadi tema utama pembicaraan baik di warung kopi pinggir jalan atau caffe-cafee di daerah elit.
Turnamen sepakbola pun marak di negeri ini, mulai yang mengklaim sebagai liga dengan kasta tertinggi sampai dengan liga tingkat RW, walaupun terkadang kebanyakan dari perhelatan itu berakhir keributan dan mewariskan benih-benih permusuhan yang makin lama makin akut.  Keberpihakan dan ketertarikan pada sebuah klub sepakbola  atau negara melahirkan fanatisme.  Berkumpulnya orang-orang yang mempunyai fanatisme yang sama melahirkan kelompok pendukung atau fans club.  Ditilik dari sisi kapitalisme kelompok-kelompok itu adalah pasar potensial.  Bagi seorang politisi atau organisasi politik, kumpulan orang-orang itu adalah calon pemilih potensial yang dengan fanatismenya dapat dirayu untuk suatu kepentingan politik tertentu.
Sepakbola Politik
            Ada dua hal  yang menyebabkan sepakbola dan politik mempunyai relasi komplementer, pertama adanya massa (suporter) dan kedua adanya sponsor (baca uang). Percampuran dua sumber unsur itu membuat sepakbola menarik dan memainkan banyak kepentingan. Maka jangan heran kalau kita banyak menjumpai bilboard yang bergambar tokoh politik  dengan kaus tim sepakbola klub tertentu, atau nama dan gambar tokoh yang terpampang megah di sebuah stadion sepakbola, atau calon kepala daerah yang berkampanye menjanjikan pembangunan stadion baru. Ini bukti sepakbola politik, sepakbola yang dijadikan alat politik.
Prestasi sepakbola sebuah klub atau negara akan ikut mengangkat popularitas figur tokoh politik tersebut, itu mungkin manfaat di satu sisi. Di sisi yang lain klub akan mendapat fasilitasi dari tokoh tersebut terkait beberapa kemudahan yang dibutuhkan. Sepengetahuan penulis fakta politik yang membuktikan keterkaitan itu adalah ketika  Silvio Berlusconi berhasil menjadi  Perdana Menteri Italia dan  Partai Forza Italia yang ia pimpin memenangkan Pemilu Italia. Menurut para pengamat politik keberhasilan Silvio Berluconi dan Parta Forza Italia tidak lepas dari persepsi positif publik Italia terhadap keberhasilan AC Milan, sebuah klub sepakbola yang dimiliki oleh Silvio Berlusconi. Untuk tataran lokal fenomena seperti ini terjadi pernah terjadi di salah satu kabupaten di Jawa Timur, persepsi masyarakat dan kebanggaan terhadap salah satu klub di sana ikut mengangkat popularitas seorang tokoh politik yang ikut berkecimpung di klub dan kemudian memenangi pemilihan kepala daerah di sana. Walaupun belum ada bukti penelitian yang valid dan teori yang dapat dipercaya, tapi sepakbola tetap dipercaya dapat menjadi alat politik.
Politik (baca kepentingan) yang lain dalam sepakbola adalah uang. Bagi para pengusaha, penggemar sepakbola adalah pasar potensial. Pemain sepakbola yang berprestasi adalah idola, ini juga sama dapat digunakan untuk mempengaruhi khalayak. Tak mengherankan bila sekarang lapangan sepakbola penuh dengan iklan. Bintang sepakbola menjadi bintang iklan. Hak siar pertandingan sepakbola menjadi tambang uang yang menggiurkan, hal ini pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab konflik kepengurusan PSSI yang tak kunjung usai. Padahal konon dulu pendirian PSSI adalah sebagai alat perjuangan untuk melawan kolonialisme Belanda. Kini PSSI seolah menjadi alat perjuangan kepentingan tertentu, kelompok tertentu dan partai politik tertentu.  Ego pribadi dan kelompok lebih mengemuka. Fanatisme klub membuat kita bermusuhan dan entitas kita sebagai bangsa justru terpecah oleh sepakbola, ironis. 
Filsafat  Sepakbola dalam Pilkada
            Sepakbola tanpa penonton dan pendukung nyaris seperti partai politik tanpa konstituen atau pemimpin tanpa massa, hambar dan nyaris tak berarti. Sebuah klub menjadi besar dengan prestasi, kita tidak akan tahu dan nge-fans kalau misalnya Persib tidak pernah menjadi juara. Manchester United, Juventus, Liverpool, Barcelona, Real Madrid, AC Milan dan klub-klub Eropa lainnya tidak akan banyak mempunyai fans di Indonesia kalau mereka tidak pernah menjadi juara.  Prestasi akan mengundang pendukung dan banyaknya pendukung itulah yang menarik para sponsor untuk menanamkan uangnya.
Pendukung pulalah yang menjadikan partai politik atau pemimpin menjadi kuat tetapi dalam politik justru logikanya menjadi terbalik. Justru uang yang akan menarik pendukung.  Mungkin dikarenakan di dalam politik sekarang sudah sedemikian transaksional sehingga sangat sulit untuk menemukan makan siang yang gratis, maka partai politik dan tokoh politik tanpa modal materi yang memadai, jujur saja, susah mendapatkan pendukung.  Padahal banyaknya peserta kampanye, bertebarannya posko dan baligo dapat menimbulkan efek hallo persis seperti pengumuman survei sebelum Pemilu atau Pilkada dilakukan, orang akan cenderung memilih yang massanya banyak dan diprediksi bakal menang.  Mental Nanglu (meunang milu) masih melekat di masyarakat kita.
Tapi lepas dari semua itu ada hal yang menarik dari kultur sepakbola Eropa yang bila diterapkan dalam perhelatan demokrasi (termasuk pilkada di dalamnya) akan membuat Pilkada menjadi lebih bermakan. Fair Play! Seperti permainan sepakbola, Pilkada juga akan menghasilkan yang menang dan kalah.  Namun sayang, sepakbola dan politik kita masih belum mau mesra dan bercengkrama dengan kata kalah. Kalah masih dianggap aib dan barangsiapa yang menimpanya maka seolah menjadi rendah dan terhinakan.   Mengakui tim sepakbola lawan bermain lebih baik masih menjadi barang mewah bagi para pelaku sepakbola kita.
Begitu juga ketika Calon Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota kalah dalam pemilihan.  Bukan pintu rumah pemenang yang pertama disambangi sambil mengucapkan selamat dan siap mendukung, justru pintu Mahkamah Konstitusi yang diketuk diiringi dengan tudingan curang dan demontrasi menyalahkan pihak lain.   Sikap Seperti Cesare Prandelli atau Joachim Loew yang mengakui lawan lebih baik dan menjadi pelajaran untuk melangkah ke masa depan menjadi hal istimewa bari kebanyakan para pemimpin kita.
Sepakbola juga mengajarkan bagaimana kita menghormati aturan main. Ada pelanggaran, offside, tendangan penalti, kartu kuning dan kartu merah. Eloknya dalam politik pun seperti itu, ada etika dan pantang menghalalkan segala cara. Seperti halnya dalam permainan sepakbola, tim yang bermain baik tidak selalu jadi pemenang. Tapi kita akan tetap mengenang sebagai tim yang baik. Kalau  tidak mengikuti aturan, bisa saja tim yang menang dan punya pendukung banyak didiskualifikasi.
             Hal lain dari filsafat sepakbola adalah kolektifitas, kebersamaan.  Bagi kita artinya persatuan. Dinamika demokrasi seperti Pilkada hendaknya tidak melupakan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa.   Tujuan kita berbangsa dan bernegara kita terlalu besar untuk dikalahkan apalagi dikorbankan oleh tujuan pribadi dan golongan.  Seperti halnya sepakbola, maka Pilkada seperti hanya kehidupan dunia ini tetaplah hanya sebagai permainan, tidak lebih.(Tulisan ini pernah dikirimkan ke media cetak, tapi ga dimuat hikshikshiks(.

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...