Tampilkan postingan dengan label leuweung Sancang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label leuweung Sancang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2020

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung dalam Masyarakat Sunda (2)


Harimau Jawa (sumber: independent.co.uk)
Oleh: Hiski Darmayana (Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran)
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan Simbol Harimau. Adapaun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi lagi lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, karena ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran. [2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antra masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan pra pengikut Pajajaran menjadi harimau di Hutan Sancan. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologi, Siliwangi yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuas di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371 -1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 Masehi dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan Kerajaan Pajajaran[3]. Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, kerajaan Sunda-galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran Runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi? Ternyata, sejara mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata[4]. Berikut ini adalah periodisasi pemerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.      Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.      Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.      Ratu Sakti (1543-1551)
4.      Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.      Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya 1579, kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf[5]. Peristiwa itu tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi in ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakal (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579).
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan Kerajaan pajajaran terjadi pada tahun 1579 tau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan kerajaan yang dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng [6]nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dari sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau sekedar mitos bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunuai,”dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang menjalankan tugasna.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan pendudukan sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harima dan hilangnya kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bahwa mitos maung laihr karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian [7]. Sepeninggal penduduk dan petinggi kerajaan wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khusunya generasi baru etnis Sunda tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak “pembengkokan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masal lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Catatan kaki:
[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinulas” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda Berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti hal nya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jawadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang
[6] Janggawareng merupakan istilah bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah dan tidak mampu membendung agresi Banten.


Prabu Siliwangi dan Mitos Maung dalam Masyarakat Sunda (1)

Harimau Jawa (sumber: independent.co.uk)
Oleh: Hiski Darmayana (Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran)
Dalam khasanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol Maung, baik itu simbol verbal maupun non verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepakbola kebanggaan Kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oeleh Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterprestasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga  sistem tersebut adalah sistem makna (system of meanging) yang berfungsi menginterprestasikan simbil dan pada akhirnya dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (ngahyangnya) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta pra pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya ngahyang (moksa). Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal dengan sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsi yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung” [1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa Sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunkan oleh masyarakat Sunda Priangan (undak-usuk basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”?. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni dan budaya politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17-beberapa abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau ngahyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan untuk melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit tersebut sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar; apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya taukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosis Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sipat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sisi kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung memiliki sipat-sipat yang seperti telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khusunya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon  di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih,sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi itu masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan ‘berhadapan’ dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi yang lain, hal demikian dipandang sebagai pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali.

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...