Harimau Jawa (sumber: independent.co.uk) |
Oleh: Hiski Darmayana (Alumni
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran)
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam,
niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi
atau Kerajaan Pajajaran dengan Simbol Harimau. Adapaun yang mengatakan bahwa
harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus
orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi lagi
lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik
itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan
mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, karena ada beragam
versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran. [2]
Problem lain yang muncul berkaitan
dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang
cukup jauh antra masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan
runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan
Siliwangi dan pra pengikut Pajajaran menjadi harimau di Hutan Sancan. Penting
untuk diketahui bahwa secara etimologi, Siliwangi yang terdiri dari dua suku
kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi.
Menurut para pujangga Sunda masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi
Prabu Niskala Wastukancana yang berkuas di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu
belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371 -1475. Lalu, nama Siliwangi yang
berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu
Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521
Masehi dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil
mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan Kerajaan Pajajaran[3].
Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, kerajaan Sunda-galuh sempat terpecah. Putra
Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya
menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan
Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya,
Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda
ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki
arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang
dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang
berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan
Pajajaran Runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi?
Ternyata, sejara mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu
Jayadewata[4]. Berikut ini adalah periodisasi pemerintahan raja-raja Pajajaran
pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1. Prabu Surawisesa (1521-1535)
2. Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3. Ratu Sakti (1543-1551)
4. Prabu Nilakendra (1551-1567)
5. Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya
lah, tepatnya 1579, kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan
pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf[5]. Peristiwa itu
tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman
219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi in ekadaci
cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakal (Pajajaran lenyap dari
muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8
Mei 1579).
Kemudian bagaimana nasib Prabu
Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta pengikutnya
yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika
itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah
tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan Kerajaan pajajaran terjadi pada tahun 1579
tau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak
pernah mengalami keruntuhan kerajaan yang dipersatukannya. Raja yang mengalami
kehancuran kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan
kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng [6]nya
Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang
mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran
terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini
masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian
bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi
dari sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau sekedar mitos bukan fakta
sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana
sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran
itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan
ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes
Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan
(daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal
23 Desember 1687 tersebut berbunuai,”dat
hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya bahwa istana tersebut terutama
sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih
berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya
salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau
ketika sedang menjalankan tugasna.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu
mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan
pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang
menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan pendudukan sekitar Pakuan
mengenai hubungan antara keberadaan harima dan hilangnya kerajaan Pajajaran.
Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bahwa mitos maung laihr
karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di
pusat kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut
sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung
kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi
penelitian [7]. Sepeninggal penduduk dan petinggi kerajaan wilayah Pakuan
berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya
banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung
tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada
sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh
serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang
sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat
Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai
sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian
tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah,
identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan
kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah perlu diluruskan agar generasi
berikutnya, khusunya generasi baru etnis Sunda tidak memiliki persepsi yang
keliru dengan menganggap mitos maung siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah
satu dari sekian banyak “pembengkokan” sejarah di negeri ini yang perlu
diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin
berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak
takut melihat kebenaran masal lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah
menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian
tangguh. Terima kasih.
Catatan kaki:
[1] Kisah mengenai wangsit ini telah
menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinulas” dari generasi ke generasi
dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita
mengenai wangsit ini bermula.
[2] sebagian kalangan berkeyakinan
lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu
perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat
bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di
Kropak 630, semacam karya sastra Sunda Berjenis pantun pada masa Prabu
Jayadewata berkuasa. Seperti hal nya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga
diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu
Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jawadewata juga mendapat gelar lain, yakni
Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam naskah Carita
Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan kerajaan Sunda-Galuh hingga
Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah
keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang
[6] Janggawareng merupakan istilah
bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah
Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari
serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu
Nilakendra amat lemah dan tidak mampu membendung agresi Banten.