Hikmah yang dapat kupetik dari dinamika kesehatan yang kujalani akhir-akhir ini adalah belajar mengakrabi kematian. Sesuatu yang sebelumnya hanya sebatas ingat-ingat lupa. Sebelumnya kematian dianggap masih jauh. Bagaimana ga seperti itu, wong dalam shalat pun pikiranku masih dikuasai dunia. Thulul amal begitu menjangkiti. Kita sibuk merencakan ini itu. Ntar mau ini ini itu!
Kematian yang dulu masih sayup-sayup kini serasa dekat. Dan sejatinya pun sebagai mahluk memang kita harus memandang kematian itu dekat. Pagi belum tentu kita ketemu sore dan hari ini belum tentu kita bertemu besok. Namun ya itu tadi, kita seringnya lupa. Kerlap kerlipnya dunia membuat kita terlena.
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia
memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling
baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang
paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak
mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam
berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan
kata Syaikh Al Albani).
Aku merasa sakitku sepertinya tidak seberapa dengan merasuknya penyakit wahn, cinta dunia dan takut mati. Itu yang membuat kita menghadapi kematian. Sesuatu yang sejatinya tidak bisa kita lawan, kita majukan atau kita mundurkan! Itu sudah ada dalam blue print hidup kita yang telah sejak lama Alloh tentukan. Bagiku bukan kematian yang aku takutkan, tapi episode setelah kematian! Fase perjalanan setelah kematian! Selamat atau celaka! Allohumma inni as aluka husnul khotimah! aamiin yra!
Tetiba aku merasa aku merasa ibadahku merasa jauh dari cukup!
Belum berbuat banyak bagi agama dan orang lain!
Astaghfirullah! Ya Alloh beri aku kesempatan untuk mendapatkan Keridhoan-Mu! Menambah akfititas-aktifitas penghambaanku! Aamiin yra!