Rabu, 25 Agustus 2021

Nurut Urip

Ikut hiduplah di komunitas spoil system kalau tidak percaya diri untuk survive di ekosistem meritokrasi. (Syarif Thoyibi, 2021)

Selasa, 24 Agustus 2021

The Second Jab

 

Akhirnya bisa berkesempatan untuk mendapat second jab.
Vaksinasi Covid-19, dapat Sinopharm.
Mudah-mudahan seperti pasca suntikan dosis pertama,
suntikan dosis kedua ini tidak berdampak signfikan terhadap tubuh.
The first job made me sleepy.

Saya termasuk yang telat mendapat vaksinasi.
Hal ini dikarenakan punya komorbid, yaitu gangguan cardiovaskular.
Saya penyintas Hipertensi Paru.
Baru setelah direkomendasikan dokter boleh divaksinasi,
bergegas mencari penyelenggara vaksinasi.

Niat vaksinasi ya untuk menyempurnakan ikhtiar.
Selagi masih ada celah untuk berusaha,
saya akan manfaatkan.
Bagi saya iman kepada Alloh adalah sesuatu yang dinamis!
Organis! Hidup!
Mengimani takdir itu bukan berarti fatalis!
Berusaha dengan ilmu yang telah Alloh anugerahkan dan ilhamkan kepada manusia 
juga merupakan sebuah takdir.
Tidak berusaha juga sebuah takdir!
Kita akan memilih yang mana.
Sesuai dengan kapasitas kita.
Meyakini bahwa memuliakan jiwa adalah hal yang asasi dari keberadaan agama ini. 

Sabtu, 21 Agustus 2021

Net Badminton

Net Badminton

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika sampai di lapang badminton sementara netnya masih teronggok di sudut gedung karena malamnya ada pemutaran film.
Makin dongkol kalo Mang Warta OB-nya Kantor Desa ternyata belum sempay membersihkan lapangan.
Terpaksa kita harus menyapu plastik dan puntung rokok, sekedarnya saja.
Malam Sabtu dulu memang rutin ada perusahaan yang memutar film di Gedung Bale Desa.
Hiburan bagi masyarakat dan pendapatan bagi pemerintah desa.
Orde baru bagi kami adalah orde yang menyenangkan.
Masa dimana kami dapat tumbuh belajar dan berkembang.
Masa ketika kami hanya berpikir, besok mau main apa dan mau kemana.

Kembali lagi ke masalah badminton.
Tidak tahu dari mana awal mula suka badminton.
Mungkin berawal dari mungut shuttlecock bekas,
kemudian tong tang dengan piring seng.
Lalu orang tua kami membuatkan pemukul mirip raket dari papan kayu sampai akhirnya muncul bantuan raket dari pemerintah pusat ke pemerintah desa.
Kami makin giat bermain badminton.
Karena ada raket subsidi, kami jadi berani main di gedung bulutangkis.
Yang penting nenteng raket...keren!

Semangat main badminton semakin menjadi kalau lagi ada even Thomas dan Uber Cup,
kemudian ada Sudirman Cup.
Kami ikut sedih dan gembira bersama Ivana Lie, Verawati Fajrin, Susi Susanti Edi Kurniawan, Icuk Sugiarto, Ardi BW dan Alan Budikusumah.
Entah kenapa Yuni Kartika ko sekarang lebih mempesona.
Li Linwei saat itu adalah ratunya bulutangkis.
Kami ikut menikmati rivalitas Icuk Sugiarto, Morten Frost Hansen, Yang Yang dan Misbun Sidek,
Kemudian serunya permainan Park Jo Bong/Kim Mon So, Li Yong Bo/Tian Bingyi, Rajif Sidek/Jailani Sidek.
Sebelum punya tivi sendiri, nontonnya berame-rame di rumah tetangga.

Punya raket bermerek adalah impian saat kecil.
Betapa gagahnya ketika melihat yang main bulutangkis di bale desa nenteng tas yang berisi raket.
Yonex dari dulu adalah merek idaman.
Belum banyak pesaing.

Dua puluh tahun kemudian baru bisa membeli raket sendiri.
Ketika bermain bulu tangkis dulu kadang suka merasa cepat cape, apalagi setelah rally-rally panjang.
Sesuatu yang baru terjawab sebabnya 30 tahun kemudian.


Pandemic Talks (13)

Kebanyakan orang memandang Pandemi Covid-19 adalah hal yang biasa.
Wabah penyakit seperti pada umumnya.
Kematian yang disinyalir dipicuk oleh virus itu pun dipandang hal yang juga biasa saja.
Sudah takdirnya.

Apa itu pandemi dan bagaimana kita menyikapi pandemi.
Kurang banyak diberitahukan.
Tidak banyak yang tahu.
Tapi tidak sedikit yang tidak mau tahu, tidak ingin tahu.

Terlalu dilebih-lebihkan.
Itu sepertinya kata yang tepat untuk menggambarkan sudut pandang mereka.

Pernyataan bahwa pandemi itu merupakan sebuah mekanisme seleksi alam mungkin terdengar bak bait kidung para intelektual yang bahasanya terlalu rumit bagi mereka.
"Kami tiap hari berjuang untuk hidup Pak!'.
Adagium survival of the fittest!
tesis bahwa mereka yang mampu beradaptasilah yang akan bertahan, tak lebih menjadi sajak yang diperdengarkan di tengah terik matahari.
Tak banyak yang peduli.

Pandemi bagi mereka lebih ke terganggunya pendaringan.
Sumber pendapatan, modal kehidupan.
Persepsi negatif terhadap hal yang berbau pandemi paling terasa berasal dari para pedagang.
Turunnya omset dan malah tutupnya gerai dan lapak bisnis yang selama ini menjadi andalan mereka untuk hidup memang pukulan yang berat.

Menurut pemikiran saya yang sempit.
Kita memang harus merubah strategi menghadapi pandemi ini.
Berpikir dan bertindak dengan berdasar situasi ril kita di lapangan.
Kita diprediksi bahwa pandemi ini akan menjadi epidemi maka kita harus mulai melangkah.
Ekstensifikasi bidang kesehatan yang meliputi sarana prasarana dan tenaga kesehatan.
Pendirian rumah sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat dengan fasilitas rawat inap dan sebagainya.
Langkah lain adalah fokus ke peningkatan standar kesehatan masyarakat.
Edukasi, subsidi vitamin dan obat-obatan, serta penguatan PHBS.

Jumat, 20 Agustus 2021

Pandemic Talks (11)

Sudah hampir satu tahun setengah pandemi melanda.
Masih banyak yang denial.
Masih banyak yang menganggap prokes itu merepotkan.
Memakai masker belum juga sampai ke tahap bahwa itu kebutuhan
Menjaga jarak dan menghindari kerumunan,
Mencuci tangan dan membatasi mobilitas masih juga terasa memberatkan.

Bukan terlalu takut!
Hanya meningkatkan kewaspadaan!
Kalau masih ada daya dan kesempatan untuk berusaha
ya berusahalah.
Saya yakin bahwa berdo'a dan  ikhtiar itu ibadah.
Selanjutkan ya serahkan kepada dzat yang serba maha.

Pandemi Talks (12)

Ini merupakan kali kedua Agustus di tengah pandemi.
Artinya kita kembali memperingati HUT Kemerdekaan dalam suasana yang penuh keterbatasan.
Keyakinan bahwa moment 17 Agustus juga momen "merdekanya" kita dari pandemi sepertinya tidak akan terwujud  https://www.cnbcindonesia.com/news/20210218173720-4-224445/satgas-haqqul-yaqin-ri-merdeka-dari-covid-17-agustus-2021.

Tetangga depan rumah misuh-misuh karena Agustusan ga ada keramaian.
Memang biasanya ada berbagai lomba-lomba dan dangdutan kecil-kecilan.
Hanya bendera dan lampu hias kerlap kerlip di malam hari yang jadi pembeda.
Bahwa sekarang adalah Bulan Agustus.

Ya mau gimana lagi.
Memang masih seperti ini.
Entah mau sampai kapan.
Kita memang kelabakan.
Pandemi ini memang banyak menunjukkan dengan jelas siapa kita.
Bisa apa kita!
Bagaimana kapasitas kita!
Seberapa kuatkah kita!
Se-robust apa sistem yang kita kelola!

Kita terlena di zona nyaman, sehingga terlihat goyah ketika gelombang menerpa.

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...