Tampilkan postingan dengan label Cilacap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cilacap. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Agustus 2018

Angkringan

Angkringan di Depan Stasiun Maos Cilacap


Pertama menyicipi kuliner angkringan sekitar lima tahun yang lalu, di pelataran depan Stasiun Maos Cilacap. Menjelang keberangkatan ke Bandung setelah mlaku-mlaku di sekitaran tanah Cilacap. Sambil menunggu kereta berangkat, Mas Annas  tuan rumah sekaligus local partner kita selama di Cilacap mengajak menikmati suasana angkringan.

Hidangannya khas dan sederhana. Ada berbagai jenis gorengan, sate-satean, tahu tempe, nasi bungkus dan lain-lain. Ada beberapa makanan dan minuman yang terasa agak asing bagi saya yang punya lidah Sunda. Menunya juga sederhana. Bapak penjualnya ramah. Suasana yang mencerminkan cita rasa dan suasana kebatinan yang penuh kesederhanaan. Sesuai dengan makna dan epistemologi angkringan itu sendiri.

Dari berbagai literatur, konon kata Angkringan (berasal dari bahasa Jawa angkring yang dapat diartikan sebagai alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya mempunyai bentuk yang khas, yaitu berbentuk melengkung ke atas). Angkringan juga dapat dipersonifikasikan sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Ketika berbicara tentang sejarah angkringan maka mau tidak mau kita harus menyebut nama Mbah Pairo. Dari sosok inilah sejarah angkringan bermula. Mbah Pairo adalah pionir konsep angkringan di Jogjakarta pada sekitar tahun 1950-an. Ia adalah perantau dari Cawas, sebuah kawasan di Klaten. Keterbatasan sumber daya yang ada didaerah asal memaksa ia untuk mengadu nasib di Jogjakarta. Dari latar belakang inilah angkringan sering dinisbahkan sebagai semangat perjuangan untuk merubah nasib, menaklukan kemiskinan. Romantisme kehidupan yang mencerminkan kerja keras dan keuletan.

Di Ciamis juga akhir-akhir ini banyak yang kuliner yang mengadopsi konsep angkringan. Di seputaran Alun-Alun Ciamis dan sekitarnya mudah kita temui angkringan-angkringan yang menambah khasanah wisata kuliner di Kota Manis. Sesuatu yang lima tahun kebelakang tidak ada akan kita temui, entah sebuah akulturasi budaya, atau strategi pemasaran belaka! 

Sabtu, 28 Januari 2017

Sensasi Perbatasan Ciamis-Cilacap (Kaso-Bingkeng)

Sungai Cijolang

Jembatan Sungai Cijolang

Tugu Perbatasan 
"Song jelema nu dongkap anyar teh ngasongkeun serat ka Dalem Kawasen. Ari diaos, serat ti Kanjeng Bupati Galuh, ngawartosan, yen balad Galuh moal tiasa dikintun ka Kawasen, margi perjurit Mataram dinten mangkukna wartosna parantos ngalangkung ka Dayeuh Luhur, pidongkapeunana tangtos ka Pakidulan Tanah Rancah, malah moal lami oge mareuntas di Cijolang....." (Mantri Jero, Halaman 99, R. Memed Sastrahadiprawira).

Walaupun kutipan tersebut bukan dari buku sejarah, hanya sebatas novel berbahasa Sunda, tapi berpijak pada sejarah. Hari ini berkesempatan untuk melewati perbatasan Ciamis-Cilacap dititik Desa Kaso (Tambaksari, Ciamis) dan Desa Bingkeng (Dayeuhluhur, Cilacap). Daerah yang tersebut di novel itu (Rancah, Dayeuhluhur dan Cijolang) benar adanya. Sambil menikmati panorama eksotis di jembatan Cijolang, pikiran menerawang ke masa silam! Membayangkan ribuan pasukan Mataram melewati daerah ini ketika menginvasi Priangan Timur! Secara geografis dan topografis memang memungkinkan untuk menyebrang Sungai Cijolang di daerah ini, landai, dangkal  arusnya tidak terlalu deras. 

Sejarah bahwa Galuh dan sekitarnya pernah dikuasai oleh Mataram (Jawa) masih dapat ditemui sisa-sisa sisi sosiologisnya pada beberapa orang tua kita. Mereka menganggap orang Jawa sebagai "lanceuk" atau kakak. Sehingga kadang mereka tidak dan atau kurang merestui ketika seorang lelaki Sunda akan mempersunting perempuan suku Jawa. Tapi kalau sebaliknya mereka mendukung! "sok beunghar cenah" wallohu'alam!

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...