Minggu, 05 Februari 2017

Massa dan Kuasa

Siang menjelang sore bergegas ke kota tetangga, memenuhi janji untuk menghadiri pertemuan panitia reuni akbar alumni SMA-ku. Terlambat, karena sebelumnya juga silaturahmi dengan teman-teman SMP-ku, arisan bulanan sekaligus persiapan reuni alumni. Agenda ahad ini padat merayap!

Memasuki pinggiran kota berpapasan dengan rombongan kampanye pemilihan kepala daerah. "Mudahan ga ada insiden apapun!", gumanku. Bagaimanapun berpapasan dengan kerumunan massa mempunyai potensi resiko. Dentuman suara musik dari soundsystem yang dipasang di mobil pick up seolah menebar "ancaman kuasa". Sorak sorai peserta kampanye dan suara keras knalpot motor seolah pakem mutlak sebuah kampanye yang melibatkan masa. Orang-orang bejibun di pinggir jalan dan seorang anak kecil tampak mengibar-ibar  bendera sebuah parpol. Gembira dengan kepolosannya. 

Makin menuju pusat kota, cuaca terasa semakin panas. AC mobil serasa hanya menghembuskan angin. Maklum mobil tua. Atau mungkin panasnya persaingan  perebutan kuasa telah mengalahkan sejuknya udara pendingin ini. 

Ah kekuasaan itu memang menggoda!
Kekuasan itu genit!
Kekuasaan itu seperti gemerlap lampu
dari jauh tampak indah
tapi ketika didekati dan dimiliki
kalau tanpa kemampuan mengelola yang mumpuni
Akan menyilaukan, sehingga banyak yang gelap mata!
Tentu senang punya banyak pengikut
pasti bangga dielu-elukan massa! 
Kepuasan tersendiri, yang untuk itu orang rela mengorbankan banyak hal!
Libido untuk berkuasa memang menggairahkan, walau banyak orang yang terjebak!
Fakir kuasa! bentuk kefakiran yang tak banyak orang mampu menghindarinya!

Sabtu, 04 Februari 2017

Gunung Madati

Gunung Madati, Mekarbuana, Panawangan

Ketika ada tugas untuk pergi ke desa-desa, aku senang sekali! Bahagia rasanya bisa sedikit mengeksplorasi daerah yang sebelumnya belum pernah didatangi. Lingkungan yang relatif masih asri menghijau, sawah-sawahnya, gunung-gunung dan masyarakatnya yang ramah, ramah yang dari hati! senyum mereka jadi penawar lelah perjalanan. Ditemani sepeda  motor kesayangan "Si Legend" petualangan ke daerah baru semakin penuh dinamika.  Semua pengalaman bermuara pada tafakur! muhasabah diri! 

Hari ini (Jumat, 03 Februari 2017) sampai ke Gunung Madati, sebuah gunung kecil di Desa Mekarbuana Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis. Desa ini desa baru, pemekaran dari Desa Sadapaingan. Jalan-jalan desa dapat dikatakan 80% mulus. Penduduknya ramah-ramah. Mayoritas mereka bertani, memelihara ayam, domba dan  sapi. Di sini juga saya bertemu seorang ustad muda, dan saya menasbihkannya sebagai seorang mujahid, pejuang! Betapa tidak, beliau beserta  istri dengan status "ngumbara" (tinggal bukan di daerah kelahiran), dimukimkan di desa ini untuk membimbing kehidupan beragama masyarakat dengan hanya bermodal tekad dan keistiqomahan!. Dan sepertinya kiprah beliau cukup berhasil. Metode dakwah dengan memukimkan santri di sebuah daerah merupakan metode umum, dan hari ini saya melihat legenda hidupnya. 

Kantor Desa Mekarbuana

Gerbang Desa Mekarbuna



Kamis, 02 Februari 2017

Tetiba

Tetiba aku ingat Widji Tukul
bukan karena ia kiri atau kekiri-kirian
ingat karena ia pernah bersuara dan melawan
terhadap apa yang ia anggap sebagai kesewenangan

Tetiba aku ingat Pram
bukan karena ia kiri atau kekiri-kirian
ingat karena ia juga bersuara dan melawan
terhadap apa yang ia nilai sebagai tiran

Tetiba aku ingat
Natsir,
Tan Malaka,
Sri Bintang
dan banyak nama lain yang  memilih berada dibarisan tidak biasa

Walau akhirnya mereka ada yang dihilangkan dan diasingkan!


Tetiba aku ingat seorang kawan
bukan karena ia orang penting atau pegawai rendahan
ingat karena ia juga pernah bersikap terhadap sebuah persoalan
walau akhirnya ia juga diasingkan!

Ciamis, 2 Februari 2017

Sabtu, 28 Januari 2017

Sensasi Perbatasan Ciamis-Cilacap (Kaso-Bingkeng)

Sungai Cijolang

Jembatan Sungai Cijolang

Tugu Perbatasan 
"Song jelema nu dongkap anyar teh ngasongkeun serat ka Dalem Kawasen. Ari diaos, serat ti Kanjeng Bupati Galuh, ngawartosan, yen balad Galuh moal tiasa dikintun ka Kawasen, margi perjurit Mataram dinten mangkukna wartosna parantos ngalangkung ka Dayeuh Luhur, pidongkapeunana tangtos ka Pakidulan Tanah Rancah, malah moal lami oge mareuntas di Cijolang....." (Mantri Jero, Halaman 99, R. Memed Sastrahadiprawira).

Walaupun kutipan tersebut bukan dari buku sejarah, hanya sebatas novel berbahasa Sunda, tapi berpijak pada sejarah. Hari ini berkesempatan untuk melewati perbatasan Ciamis-Cilacap dititik Desa Kaso (Tambaksari, Ciamis) dan Desa Bingkeng (Dayeuhluhur, Cilacap). Daerah yang tersebut di novel itu (Rancah, Dayeuhluhur dan Cijolang) benar adanya. Sambil menikmati panorama eksotis di jembatan Cijolang, pikiran menerawang ke masa silam! Membayangkan ribuan pasukan Mataram melewati daerah ini ketika menginvasi Priangan Timur! Secara geografis dan topografis memang memungkinkan untuk menyebrang Sungai Cijolang di daerah ini, landai, dangkal  arusnya tidak terlalu deras. 

Sejarah bahwa Galuh dan sekitarnya pernah dikuasai oleh Mataram (Jawa) masih dapat ditemui sisa-sisa sisi sosiologisnya pada beberapa orang tua kita. Mereka menganggap orang Jawa sebagai "lanceuk" atau kakak. Sehingga kadang mereka tidak dan atau kurang merestui ketika seorang lelaki Sunda akan mempersunting perempuan suku Jawa. Tapi kalau sebaliknya mereka mendukung! "sok beunghar cenah" wallohu'alam!

Kamis, 19 Januari 2017

Sajak Sebungkus Kerupuk dan Segelas Air Minum Kemasan


Sebungkus Kerupuk dan Segelas Air Minum Kemasan
Menemaniku sore ini
Air hujan gemercik dan langit masih penuh jelaga
tapi tak apa....selama masih internet masih on
hidup tetap indah!





Nasionalisme Kami

Pertama melihat foto itu di buku kerja mendiang Apa, dulu sudah lama sekali! Buku kerja sederhana seorang Ulis Dua. Ya, ayahku terakhir mengabdikan diri sebagai seorang Pamong Desa dengan nomenklatur jabatan Juru Tulis II. Sekarang dikenal dengan Kaur Keuangan. Aku menyebut pengabdian karena mengalami dan merasakan betul perjuangan Apa. Pahit getir sebagai seorang pamong desa membuat dia sempat berujar "ulah hayang jadi pamong desa ari teu kapaksa-kapaksa teuing mah, tong boroning salah, bener ge diomongkeun!". Ucapan itu terus terngiang-ngiang. Sehingga ketika karena sesuatu hal, aku tidak jadi menjabat caretaker Kuwu di desaku sehingga kehilangan kesempatan untuk belajar jadi pemimpin, kalimat Apa itu seolah jadi penghiburku. Dulu kondisi perekonomian pegawai desa tidak seperti sekarang. Tidak ada tunjangan ini itu fasilitas ini itu. Tiga kali setahun panen padi dari tanah bengkok  itulah sumber penghasilan keluarga kami. Tak heran Apa selalu bergegas sehabis shubuh dan baru datang menjelang maghrib (diselingin shalat tentunya) demi mewujudkan cita-citanya. Etos kerja dan ritme hidup yang belum bisa aku tiru!

Foto itu pasti foto favorit Apa. Tokoh itu pasti tokoh yang dikagumi Apa. Selain sulah (begitu orang Sunda menyebut kebotakan sebagian kepala bagian depan), memang banyak karakter apa yang mirip dengan Mohammad Hatta. Tidak banyak bicara dan cenderung pendiam, analitis dan relijius. Satu hal mungkin yang membedakan, garis perjuangan! Ayah lebih ke kanan sedangkan Mohammad Hatta , nasionalis yang cenderung sekuler. Akfititas Apa "ngora" adalah ada dalam kibaran bendera Masyumi dan genderang Drumband serta baluran Seragam Ansor! Garis politik yang membuat ia harus merasakan popor pistol investigator Kodim dan berseberangan dengan mereka yang berada di tengah dan kiri. 

Tapi jangan pernah meragukan nasionalisme kami! kami punya DNA untuk tidak diam dengan segala penindasan dan penjajahan, sekecil apapun itu! Ua adalah ikon perjuangan kampung kami. Beliau adalah wakaf kecil keluarga kami pada republik ini. Posisinya sebagai pentolan Sabilillah membuat berondongan peluru Tentara Belanda pada tahun 1948 menyambanginya sehinga ia harus rela mati muda. 

Selasa, 10 Januari 2017

Ari Kuring Kaasup Santri Teu Nya!



Alhamdulillah, poe-poe ayeuna keur rame ku santri! Upacara di ditu di dieu! Pawey kaditu-kadieu! kagiatan mawa tema santri jeung kasantrian meriah!Spanduk ucapan ti para panggede  euyeub dimana-mana! ngawilujengkeun ka kaum santri. Kuring ngilu bungah! tanda santri beuki nanjeur jeung kaitung!...dina sagala hal! reugreug, sabab kuring yakin beuki loba santri tangtu beuki saeutik jalma anu salah lengkah!. Hiji hal anu kudu jadi ugeran, kaom santri ulah poho kana purwadaksi! Ulah maksakeun ngambah hiji bidang anu lain fakna! Lain ulah ngan pan geus pada apal  dalilna! Inggis kecap santrina kasebut dua kali....santri-santri!

Bakating ku seksina santri, loba jelema nu ngagaya jiga santri jeung hayang diaku santri (kaasup kuring sigana heheheh?). Mun keur ngalamun kadang sok nanya ka dirisorangan, ari kuring teh santri lainnya nya? Meuting di kobong pernah, ngaliwet bisa, Maca kitab bisa paslun-paslun wae ma heheheh! Kieu-kieu ge Kitab Safinah mah kuring teh da tamat, nya alhamdulillah atuh  tatacara ngalaksanakeun rukun Islam teu tatag totog teuing.

Foto bangunan di luhur minangka na mah pasantren kuring. Pondok Pesantren Al Hikmah! pasti moal loba nu apal ka eta pasantren sabab ngan pasantren basajan di hiji lembur anu rada nyingkur....tapi sok sanajan kitu keur para santrina mah estu mewah tur munel ku elmu jeung pangalaman!  Ti baheula ge eta bangunan teh geus dua tingkat, ngan teu dibeton kawas ayeuna. Kobongna ku bilik jeung lantaina papan atuh mun aya nu leumpang teh sok katangen. Sok sanajan Aa Ajengan (kitu kuring nepi ka ayeuna nyebut teh, da di aa keun ku alm bapak) sok nyebut santri jeung santriwati tapi kuring mah asa pas teh disebut barudak ngaji we. 

Nyandang status santri teh asa can kamaqoman, can kajiwaan oge can kaawakan Ek kamaqoman kumaha geura maenya aya santri karesepna nonton pilem layar tancep. Dimana aya santri subuh dihudangkeun ke Kang Ajengan, kabeurangan sabab peutingna tas lalajo pilem di Buniasih Landeuh! Ngaji kitab teu konsen mun apal peuting eta aya nu hajat nanggap pilem.

Meuting di kobong mangrupakeun hiji pangalaman anu hese dipopohokeun! loba kajadian lucu! Babaturan kuring harita, Kang Ade Yaya (minangka na mah kokolotna jeung Yudi), Uyeh, Juju, Rohiman, Yuyu, Suhro/Ade Waryo tapi nelahna De Obet, Nana ti Puteresik jeung nu sejenna (rada poho sawareh). Ngaliwet mah pasti pangalaman nu hese dipopohokeun. Harita mah nurut we dicaram dahar liweut ditotor teh (langsung tina kastrolna), sok datang maung cenah. 

Hatur nuhun ka pun Guru Almukarom, KH. Didi Maturidi (Aa Ajengan), Kang Encid (anu elmu quro na teu katuturkeun), Aa Dede Engkuh (Tugas ngapalkeun Al Insyirah napel nepi ka ayeuna), Kang Dana, Kang Mamat, Kang Ade Yaya, Teh Ai sareng nu sanesna, Al Hikmah, tempat kuring diajar Agama Islam, Tetengger mimiti bisa ngaji, ibadah jeung ngabedakeun bener jeung salah. 

Ciamis, 22 Nopember 2016 (Mieling Poe Santri)

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...