Minggu, 29 Oktober 2017

GJS dan Diskusi Reformasi Birokrasi


Akhirnya selesai juga gelaran acara Gerak Jalan Sehat dalam rangka HUT Emas Smandatas, alhamdulillah acara berjalan dengan lancar. Dua jempol buat jajaran panitia dan semua pihak yang telah mendukung acara ini. Walau kontribusi saya cuma do'a dan harapan, tapi ya ikut senang juga. Melihat antusias teman-teman alumni (akang-akang, teteh-teteh dan ade-ade) ikut memberi aura positif, agar hidup tetap semangat dan optimis.  

Disela Pelaksanaan Gerak Jalan Sehat dalam rangkaian HUT Emas Smandatas bertemu dengan Kang Ismail Hakim. Sudah lebih dari dua dekade tidak bertemu. Ia adalah kakak kelas sekaligus kakak Kang Irwan Nurwandi, sahabat saya semenjak SMP.  Sambil menikmati Bubur Ayam Dadaha (ini biasanya jadi menu kalau kita praktek renang di Dadaha) kita ngobrol panjang. Berdiskusi tentang kehidupan. Sebagai sesama birokrat kita berbagai tentang harapan. Prinsip hidup yang relatif sama tentang sebuah nilai hakiki membuat obrolan semakin intens.

Hal penting yang dapat digarisbawahi dari sharing tersebut tentang bagaimana kita bisa berperan dalam perbaikan organisasi. Beliau bercerita tentang metamorfosa di tempat kerjanya, sebuah instansi di lingkup Kementerian Keuangan. Dulu di intansinya, orang yang tidak mau menerima "sesuatu" di luar penghasilan resmi dianggap orang aneh [jadi ingat aku juga sepertinya pernah dianggap orang aneh, walau aneh yang lain hehehehe], dan sekarang orang yang mau menerima "sesuatu" di luar penghasilan resmi dianggap orang aneh justru disebut orang aneh. 

Kita juga diskusi panjang tentang reformasi birokrasi. Lesson learnt-nya adalah kompensasi yang berupa materi tidak akan serta merta membuat kinerja menjadi meningkat dan perilaku koruptif pergi menjauh. Konon reformasi birokrasi yang berbasis kompensasi materi di instansinya pernah mengalami kegagalan. Padahal proses reformasi birokrasi di Kementerian keuangan telah berjalan mulai dari tahun 2002. 

Satu hal yang jangan dilupakan dalam implementasi reformasi birokrasi adalah menyentuh sisi spiritual pegawai. Organisasi harus mampu menyentuh hati SDM yang ada didalamnya. Menyentuh sisi terdalam nurani seorang manusi, kesadaran akan tanggung jawab termasuk didalamnya pertanggunjawaban di hadapan Mahkamah Robbaniyah!. Kemampuan menata hati akan membuat kita bekerja lebih ikhlas, nyaman dan tidak bergantung materi. Ia juga berpesan tentang bagaimana memanfaatkan setiap momen untuk berdakwah dan menularkan virus positif ke lingkungan. 

Absen secara elektronik merupakan awal dari implementasi reformasi birokrasi. Mekanisme ini akan memaksa pegawai tetap berada di lingkungan kerja. Setelah presensi optimal barulah kita berbicara pembagian kerja. Persoalan saat ini bukan kekurangan pegawai, tapi ada orang yang overload dan banyak pegawai yang melalui hari tanpa output yang jelas. Tidak ada yang tak mungkin, impossible is nothing!

Jumat, 27 Oktober 2017

Mengenang Ustadz Umung Anwar Sanusi

Saya bukan santrinya
pun, bukan pula orang dekatnya.
bolehlah disebut sebagai penggemarnya,
Pengagum sederhana yang tak jua berhasil melaksanakan petuah-petuahnya!

Terakhir melihat beliau secara langsung sekitar setahun yang lalu!
Dalam sebuah pengajian di Mesjid Agung Ciamis.
Sudah terlihat ringkih, tapi tetap antusias membagi ilmu.
Berbeda dengan ketika pertama bertemu di awal tahun 2004!
Kala itu kekaguman mulai menyeruak!
Kami biasanya memanggil Ustadz Umung, lepas dari background keilmuan dan status sosialnya yang mewah, penampilannya tetap sederhana, dan mau membagi ilmu di forum yang tidak istimewa.
Retorikannya tidak terlalu wah tetapi untaian kata-katanya renyah, mungkin buah dari tempaan berbagai pengalaman! Tak banyak canda tapi tetap tak bosan!
Selamat jalan Ustadz!
Innalillahi wainna ilaihi roji’un!
Allohummaghfirlahu warhamu wa’afihi wa’fuanhu!

Kamis, 26 Oktober 2017

Di Bukit Kaki Manglayang



Ku daki sebuah bukit
tak terlalu tinggi, tapi tetap saja sisakan lelah

Ku langkahkan kaki
Tak terlalu cepat, tapi tetap saja menguras nafas

Ku tuliskan sebuah kata
Tak puitis, tapi tetap saja punya sejuta makna

Ku ukir sebuah cita
Tak tinggi, tapi tetap saja memeras usaha

Ku tatap sebuah cinta
Tak mewah, tapi tetap saja sangat berharga

Ku rangkai sebentuk rindu
Tak dalam, tapi tetap saja selalu memilin hati

Dari puncak bukit ini
Kupandang cakrawala
di kiri terbit di kanan tenggelam

Dari puncak bukit ini aku termenung
Mengenang semua pahit dan getir
Ah....memang hidup kadang di atas kadang di bawah


Di bawah bayang-bayang Gunung Manglayang
Kupandang hamparan kehidupan
...dan tetiba aku merasa kecil....!

Kiarapayung, 10-20 Oktober 2017

Rabu, 25 Oktober 2017

Bunga Handeuleum



Kawenehan kalau kata Orang Sunda!
Memang baru kali ini melihat Pohon Handeuleum berbunga!
Walaupun mungil tapi keindahannya sangat menarik dilihat!

Daun Handeuleum (Daun Wungu, Jawa) atau nama latinnya grapthophyllum pictum, sudah dikenal sebagai obat herbal yang salah satunya berkhasiat untuk mengobati Wasir atau ambeien.  Selain untuk wasir, daun handeuleum juga dapat dimanfaatkan untuk beberapa penyakit lainnya. Pengalaman penulis rutin meminum rebusan daun handeuleum dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

Tanaman ini relatif mudah untuk dikembangbiakan. Ditanam dengan stek batang dan relatif mudah untuk tumbuh. Tapi harus rajin dirawat, karena mudah terserang ulat. Ulatnya besar-besar dan hihhhh....matak kukurayeun bulu punduk. Ketika melihat bunga Handeuleum saya berpikir apakah khasiatnya lebih dari daunnya. Maka saya nisbahkan istilah baru grapthophyllum immortalis.
#periniaimmortalis
#teranaconda
#bloodorchig

Senin, 25 September 2017

CAT (Computer Assisted Test)


Konon jaman dulu selembar ijazah sekolah menengah apalagi perguruan tinggi adalah jaminan masa status sosial yang lebih baik. Saat itu tidak semua orang berkesempatan untuk menempuh pendidikan yang baik. Hanya mereka yang berdarah biru dan golongan saudagarlah yang punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih. 

Jaman telah berubah. Jumlah penduduk semakin meningkat sementara sumber daya pemuas kebutuhan manusia semakin terbatas. Kondisi ini otomatis melahirkan persaingan hidup, struggle for life. Sesuai dengan kaidah Darwinian maka yang kuatlah yang akan bertahan, survival of the fittes.  

Dulu selembar ijazah juga berarti jaminan pekerjaan yang layak. Kini ketika jumlah lulusan Perguruan Tinggi lebih banyak dibanding lapangan kerja yang ada maka hal itu tidak ada lagi. Selembar Ijazah adalah modal awal untuk memasuki pintu persaingan lain yang lebih mengerikan. Bersaing dengan orang lain yang bisa jadi punya kapasitas sama atau bahkan lebih. Ketika The Fittes-nya banyak maka saringan-saringan baru telah disiapkan. Cerdas saja tidak cukup, sehat saja tidak cukup....makin banyak metode untuk benar-benar melahirkan calon pegawai yang paripurna. Sosok pegawai yang digadang-gadang mampu menjadi tenaga baru untuk mewujudkan organisasi yang lebih efektif dan efisien.

Hari ini kita menyaksikan jutaan angkatan kerja di Indonesia mengadu kemampuan untuk berkompetisi mengisi lowongan di beberapa pos pemerintahan, menjadi ambtenaar. Profesi yang kembali menjadi idola di era sekarang ini. Dulu profesi ini adalah profesi yang ekslusif. Sekarang informasi dan kesempatan untuk menjadi pangreh praja terbuka lebar, tidak dimonopoli oleh pihak-pihak dan golongan tertentu. 

Seiring perkembangan  jaman, testing menjadi seorang CPNS sekarang memakai sistem CAT (Computer Assisted Test). Sistem seleksi dengan memakai bantuan komputer untuk mendapatkan kandidat dengan nilai standar yang dikehendaki. Sistem ini lebih transparans. Kita dapat melihat langsung skor peserta secara real time. Mudah-mudahan ikhtiar ini dapat menjadi modal untuk mewujudkan reformasi birokrasi. 

Selasa, 19 September 2017

Dua Minggu Di Kiara Payung


Akhirnya berkesempatan juga menghirup atmosfer lingkungan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara (PKP2A I LAN) di Kiara Payung Jatinangor. Tempat itu sayup-sayup ku dengar dari teman-teman yang mengikuti Diklatpim III beberapa waktu yang lalu. Kini dapat juga menuntut ilmu di sini sebagai upaya memantaskan diri, bekal unntuk mendidik dan melatih agar mempunyai kompetensi dalam mengampu pembelajaran. Diklat Kewidyaiswaraan Substantif Diklatpim III dan IV merupakan prasyarat agar kita dapat mengajar di Diklatpim III dan IV. 

Aku memang memilih menjadi seorang Widyaiswara. Dua belas tahun lebih berkecimpung di lingkup struktural cukup rasanya merasakan segala pengalaman yang aku maknai sebagai pembelajaran di universitas kehidupan. Aku memutuskan untuk memasuki dunia baru. Dorongan passion untuk menjadi seorang pengajar dan pembelajar tak kupungkiri menjadi dorongan besar. Di tengah segala hiruk pikuk ini aku memilih jalan sepi! Bukan menyerah terhadap keadaan, kalau ada kesempatan untuk memilih yang aku akan memilih! Toh struktural dan fungsional hanya dikotomi artifisial, hakekatnya ya sama, lahan ibadah dan pengabdian sekaligus pendaringan!

Kampus inilah merupakan milestone (kaya proyek perubahan aza nih....ga shabar ingin jadi coach heheheh) metamorfosa diri. Bagian dari upaya untuk memperbaiki diri. Membangun kapasitas agar dapat memberi manfaat!

Menatap arah selatan dari Puncak Kiara Payung bak menelisik diri yang sangat kecil di samudera kehidupan. Tak layak kita adigang adigung adiguna karena karunia yang Alloh titipkan kepada kita, entah itu kuasa, ilmu atau harta. Selain ikhlas, bersyukur adalah hal yang mudah kita ucap tapi sulit kita amalkan. 
Gedung itu menjadi saksi atas sebuah perdjoeangan
Kawan-Kawan Seperdjoeangan

Selasa, 15 Agustus 2017

Jampana

Jampana (sumber: desamekarsaluyu11.blogspot.co.id)
Ari ek mieling kamerdekaan 17 Agustus teh sok sono kana jampana. Di lembur kuring mah jampana teh geus jadi tradisi. Tiap dusun nu jumlahna genep (Dusun Desa, Cikujang Hilir, Cikujang Girang, Cijukungan Tonggoh, Sukamaju Hilir jeung Cibulakan) siga nu paalus-alus nyieun jampana. Rupa-rupa hasil tatanen raweuy dipake rarangken. Malah baheula mah keur booming lauk pelet, kungsi aya jampana anu hateupna ku kere lauk. Mangrupakaeun hiji kareueus mun hasil tatanen atawa ingon-ingon urang diangken jadi bahan jampana. Mudah-mudahan eta budaya gotong royong teh masih aya nepi ka ayeuna.

Baheula mah (duka pedah keur budak) ari ek Agustusan teh sok hate sok ratug tutunggulan. rebun-rebun keneh poean kudu geus mandi. "Tuh  sora dogdog geus nurugtug di Cikujang", Ceuk Indung kuring. Kaca-kaca geus dirarangkeunan bari digagantelan ku kadaharan sabangsaning opak jeung sajabana. Eta kadaharan teh diancokeun keur nu pawai.

Sono oge ka Pak Letnan Didi, anjeuna purnawirawan ABRI pupuhu rombongan pawai ti Cikujang Hilir anu kakoncara ku kreasi mintokeun nilai-nilai perjuangan. Memeriaman nu dipapaes bedil lodong, dar der dor matak ketir kana hate. Speaker Toa dipanggul ku rengrengan pawai, Pa Letnan Didi sibuk nganarasikeun perjoangan baheula ngerebut kamerdikaan. Intina urang kudu syukuran jeung ngeusi kamerdekaan ku ketak anu hade.

Rupa-rupa rengkak paripolah masyarakat dina raraga mieling kamerdekaan kudu diapresiasi. Tapi urang oge ulah mopohokeun kana inti kamerdikaan anu sabenerna. Urang ulah bosen-bosen tumanya, "Naha bener urang geus bener-bener merdeka?". Merdeka anu kumaha?. Sok kadang aya implengan aheng, mun sakirana urang hirup jaman revolusi urang ek milih jalan mana? Ek jadi pejuang anu toh pati ngalawan penjajah; ek jadi pengkhianat biluk/ngabantuan ka musuh asal hirup aman jeung nyaman, teu mikir bangsa jeung nagara nu penting diri jeung kulawarga salamet; ek jadi pemain oportunis kumaha angin nebak, jurus nanglu (meunang milu), pemain standar ganda jeung munapek, mun kira dipihak republik nguntungkeun nya ka pihak republik, mun kira tawaran musuh leuwih alus nya ngilu ka musuh, lolondokan, siga melaan lemah cai padahal sabenerna mah ulon-ulonna penjajah; atawa ek jadi rakyat biasa wae. 

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...