Rabu, 08 Agustus 2018

Penjahit Keliling


Saya tidak sempat menanyakan namanya apalagi asalnya. Kita hanya berusaha bertukar senyum ketika kebetulan bertemu. Gang Kecil di depan rumah saya menjadi rute wajibnya ketika bekerja berkeliling menjual keterampilannya menjahit.

Memakai sepeda yang dimodifikasi dengan mesih jahit dan selembar kecil tripleks berwarna hijau berisi sedikit tulisan iklan, jadilah ia seorang penjahit keliling. Inovasi ini sudah lama ada seperti juga tukang sayuran keliling yang kini banyak menggunakan sepeda motor. Keluar masuk jalan kecil di kampung-kampung pinggiran. Prinsip mendatangi konsumen merupakan strategi mereka untuk survive.

Penjahit merupakan profesi salah satu profesi yang sepi peminat. Jarang orang yang bercita-cita jadi penjahit. Mungkin profesi ini kurang prestise. Padahal Nabi Idris AS saja bekerja sebagai penjahit. Jumlah penjahit sekarang ini semakin sedikit sehingga hampir tiap penjahit overload. Jarang kita mendapatkan jasa penjahit yang tepat waktu. Tapi ya bagaimana lagi, kita memang sangat memerlukan jasa mereka. 

Kalau perlu perbaikan kecil, vermak dan lain-lain ya mending ke tukang jahit keliling. Efektif dan efisien. Hanya kehadirannya tidak dapat diprediksi. Berkat jasa tukang jahit keliling banyak baju yang tidak jadi beralih menjadi lap. Celana yang kekecilan dapat dipakai lagi. Berhemat sekaligus menghargai sebuah sandang. Bukan tidak mampu membeli. Tapi upaya sederhana untuk berkontribusi terhadap keberlangsungan bumi. 

Sabtu, 04 Agustus 2018

KA Serayu, Dulu dan Kini


Dipalak oleh pengamen di antara Stasiun Cikampek - Karawang adalah momen yang tidak terlupakan ketika naik Kereta Api Serayu. Tapi itu dulu, pertengahan Mei 1998 ketika aksi-aksi mahasiswa makin menuju titik kulminasi.  Di jalan-jalan menjelang meninggalkan Jakarta kulihat ramainya mahasiswa berdemo, menaiki Metromini sambil berteriak-teriak mengibarkan bendera organisasi! Uh betapa heroiknya mereka. Aku memilih pulang, karena uang sudah hampir habis dan perkuliahan mulai terganggu terkait situasi sosial politik yang semakin memanas. Toh aku juga bukan siapa-siapa, hanya seorang pengeras yel-yel, penambah tepuk tangan dan penggenap kepalan tangan! Jaket almamaterku tidak pernah mencium gas air mata apalagi bersentuhan dengan peluru tajam!.

Memilih naik kereta  karena saat itu naik kereta merupakan moda transportasi yang murah. Dengan karcis berbentuk kertas tebal kecil jarak Jakarta-Tasikmalaya dapat dilalui dengan biaya Rp. 4.000an. Tapi kita jangan mengharapkan kebersihan, kenyamanan apalagi keamanan. Copet dan pengamen bebas berkeliaran, bercampur dengan para pedagang asongan. Kereta api ekonomi saat itu seperti kurang mendapat perhatian. Tapi karena mudah tetap saja penuh, apalagi kalau musim mudik dan liburan.

Kini kereta api yang mengambil nama sebuah sungai di Jawa Tengah itu sudah berubah. Rutenya juga sudah berubah kalau dulu hanya sampai Kroya sekarang sampai Purwokerto. Mungkin hanya arsitektur tempat duduknya saja yang masih seperti dulu, Kurang ergonomis, apalagi kalau terisi penuh. Kita harus duduk tegak sepanjang perjalanan.

Pelayanannya pun telah berubah, dengan tarif  per Agustus 2018 sebesar Rp. 63.000,00 kita dapat menikmati perjalalan  full AC dan jumlah penumpangnya pun sesuai dengan kapasitas tempat duduk. Tidak ada pedagang asongan dan bebas asap rokok. Kecuali karena force majeur frasa "kereta terlambat dua jam cerita lama" tinggal kenangan.

Sabtu, 21 Juli 2018

Nyaleg itu Gimana Gitu! (Pengalaman dari Daerah)

Gedung DPRD Kabupaten Ciamis

Saya pernah mengikuti prosesi untuk dapat beraktifitas di gedung di atas. Dulu lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Mungkin salah satu “kecelakaan” dalam perjalanan sejarah hidup ini adalah pernah ikut nyaleg. “Kecelakaan” yang positif tentunya. Bagi saya dan rangkaian hidup saya yang hampir kesemuanya ada dalam bingkai kesederhanaan, Nyaleg jelas merupakan sesuatu yang mewah. Bagaimana tidak mewah adik kelas waktu kuliah yang kerja di KPU Pusat sampai bilang, wah akang ikut nyaleg ya! Nama saya ada dalam lembaran negara, buku besar dokumentasi perjalanan demokrasi Indonesia yang kita cintai ini. Bolehlah saya bangga-bangga dikit.

Ketika nama lengkap ada di lembaran surat suara Pemilu Tahun 2004 untuk DPRD Kabupaten bagi saya merupakan kehormatan. Foto diri ada di sticker-sticker dan leaflet, ditempel disana-sini bagi saya yang dulu masih imut-imut merupakan sebuah lompatan besar. Betapa tidak imut-imut, diusia yang belum genap 27 tahun, ketika hidup masih sendiri, uang kadang ada kadang tiada, hanya bermodalkan sebuah sepeda motor tua, didorong untuk tampil! Manakala kini manemukan artefak sejarah berupa sticker bergambar diri yang masih menempel di pintu rumah para pendukung terkadang membuat diri ini tersenyum simpul. Owh aku ternyata aku pernah berambut banyak!

Lepas dari menang tidaknya, nyaleg merupakan pengalaman yang sangat menarik dan berharga. Bobot pembelajarannya melebihi beban SKS ketika menuntut ilmu di Perguruan Tinggi.  Nyaleg itu harus mau diundang kesana kemari oleh berbagai komponen, komunikasi dan kelompok . Memberikan sepatah dua patah kata (kaya pejabat aja deh pokoknya). Dan akhirnya merespon keinginan kelompok masyarakat yang mengundang yang terkadang sangat pragmatis. Saat itulah ada ungkapan bagi saya yang tergolong caleg agak-agak misqueenn ini terdengar  lebih horor dari Film Sundel Bolong  “Urang dieu mah crung creng kang!, nu penting mah akang masihan naon we nu karaos ku warga, InsyaAlloh aya suara!. (Orang sini kontan kang! ada pemberian InsyaAlloh ada suara). Saat itulah aku berandai owh andai aku caleg yang kaya raya!Mungkin tidak kalang kabut kalau diminta jadi solusi yang bersifat materi.

Nyaleg itu harus siap ketika ada yang datang bertamu. Dari berbagai kalangan dan latar belakang. Harus siap ngobrol ngalor ngidul. Harus shabar mendengar mereka berjanji siap membantu asal ….Pokoknya kematangan emosional kita betul-betul diuji. Tapi karena niat nyaleg saat itu tidak muluk-muluk dan bukan untuk kepentingan sendiri, semua berjalan nyelow dan enjoy! Tahu diri, sadar kapasitas dan potensi diri. Tanpa mengurangi keseriusan prosesi demokrasi dilalui dengan canda tawa. 

Mendapat satu dua suara dalam Pemilu itu tidak mudah! Sekali lagi tidak mudah! Jauh Lebih mudah mendapat like di status medsos. Orang yang satu daerah pun belum tentu memberikan suara untuk kita. Yang paling penting tentu dukungan dari keluarga besar kita. Dukungan dari keluarga itu tulus, tidak bergantung partai apa dan telah memberi apa. Walaupun pada kenyataannya dukungan keluarga besar itu tidak akan  mencapai 100%, ya wong namanya juga pemilihan, terkadang terkait dengan  hati dan berbagai hal lainnya.

Berdasarkan pengalaman, nyaleg itu juga perlu gizi dan logistik. Kita tak cukup bermodal citra diri dan citra partai. Dalam kenyataannya peredaran gizi dan logistik yang lancar akan mengalahkan citra diri dan citra partai. Ada pengalaman unik, dari satu daerah kita dapat suara sama persis dengan jumlah kaos yang kita bagikan. Untuk itu nyaleg itu sebaiknya tidak ujug-ujug. Tapi harus menanam sejak lama. Menanam itu tidak harus materi. Bibit dan benih kebaikan yang dapat ditanam itu banyak jenisnya.

Dulu tuh punya amunisi Kalender, Kaos dan Sticker saja kita sudah bersemangat.  Melihat ada orang yang pakai kaos partai kita, wuih senangnya bukan main. Nyaleg sekarang terbantu dengan adanya internet dan terutama media sosial. Kampanye dan sosialisasi akan banyak termudahkan. Dulu belum musim bikin spanduk atau baligo, paling banter sticker dan kaos partai bergambar caleg. 

Tapi tetap pertemuan langsung itu penting. Medsos, media masa dan media elektronik kalau diibaratkan piranti serangan udara yang tidak akan efektif bila tidak didukung oleh Pasukan Infantri, Pasukan Darat. Dalam kontestasi Pemilihan Umum sekarang, penguasaan territorial menjadi penting.
Seperti halnya konteks pemilihan yang lain, Nyaleg juga merupakan sebuah seni, adu strategi. Dulu di partai kami itu, antar caleg ga saling bersaing, tapi saling mendukung. Maka kita sering motoran bareng, kampanye bareng, logistic juga dibuatin. 

Sejatinya kompetisi antar caleg baik dalam satu partai maupun antar partai juga jangan kontrapoduktif apalagi melebar ke arah konflik horizontal. Kontestan harus bersaing secara sehat dengan mengedepankan niat baik untuk melebarkan peluang berbuat baik. Sependek pengetahuan saya ketika telah menjadi Anggota Dewan sekat-sekat partai, perbedaan platform dan ideologi itu tidak terlalu dominan lagi, lebih ke arah bagaimana bersama-sama membangun daerah pemilihan (Dapil). 

*Tulisan ini didedikasikan buat teman dan kolega yang tengah dan akan berkiprah membangun masyarakat di bidang politik. Selamat berjuang! 

Minggu, 01 Juli 2018

Apa dan Bagaimana Setelah Pilkada!


Bulan Juni berakhir sudah. Bulan yang penuh momentum! Selain Ramadhan dan Idul Fitri plus mudik dan arus baliknya, di bulan ini ada Pilkada serentak. Usai sudah hiruk pikuk demokrasi langsung ini. Beres juga pesta demokrasi yang penuh dinamika  itu. Seperti lumrahnya sebuah pesta, semua tidak berakhir ketika hari berganti! Sisa-sisa dan turunannya akan berlanjut, entah dalam hitungan bulan atau bahkan tahun.

Seperti laiknya kontestasi yang lain, Pilkada serentak juga berlangsung riuh rendah. Tapi bagi kita yang maqomnya sehanya sebatas pemilik suara: tidak terkait dan terlibat langsung, hikmahnya adalah bahwa dalam sesuatu itu jangan terlalu, sedang-sedang saja, biasa-biasa saja.   Sebatas menggunakan hak, hak lho ya! (maka dinamakan hak pilih, bukan wajib pilih). Memilih yang diyakini.  Keyakinan seseorang terhadap sesuatu memang berbeda. Banyak faktor yang membangun sebuah keyakinan....dan  keyakinan itu seperti cinta! Terkadang merontokkan logika. Tapi apapun logikanya kepentingan tetap menjadi panglima! Kepentingan diri, keluarga, karir, materi atau apapun itu!

Tapi itulah seninya berbeda. Saling menghormati dan menghargai adalah pelajaran paling penting dari sebuah perbedaan pilihan. Ketika dukungan kita menang, hanya sebatas eforia belaka yang mungkin hanya bertahan beberapa minggu atau paling banter beberapa bulan. Selanjutnya business as usual. Hidup dan kehidupan tetap menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. 

Siapapun yang menjadi pemenang bagi kita masyarakat biasa tidak akan lama berpengaruh, hanya sebentar saja! Tapi tentu berbeda dengan mereka yang menjadi Tim Sukses, Relawan, Inner Cycle (Ring 1) atau pendukung fanatik salah satu calon . Mereka akan sangat senang. Harap-harap cemas bercampur peluh berakhir bahagia. Mereka senang hatinya. Berbanding terbalik dengan mereka yang ada di lingkaran calon yang kalah, sedih dan gundah gulana. Seperti kata mutiara, kemenangan memang banyak saudara tetapi kekalahan itu seperti anak yatim. Tapi seperti hal lain di alam fana, itu juga tidak akan terlalu lama!!

Pada episode selanjutnya yang panjang, sangat mungkin terjadi perubahan 180 derajat: Mantan pendukung  yang menang, justru jadi kecewa, karena ternyata figur yang mereka dukung ini tidak sebaik seperti yang mereka yakini sebelum pemilihan. Asa akan mendapat ini itu ketika tak menemui kenyataan akan melahirkan kekecewaan. Mantan pendukung calon yang kalah  justru berbalik menjadi pendukung yang menang, karena ternyata figur itu  tidak seburuk yang mereka yakini sebelum pemilihan. Itu karakter pendukung yang fair, buah dari paduan tata kelola rasional dan emosional. Sejatinya salah pilih itu bukan ketika calon yang kita pilih mengalami kekalahan tetapi ketika calon yang kita pilih tidak mampu menjalankan amanah dan tidak memenuhi janji-janji sebagaimana yang pernah dikampanyekan. Hal itu membuat banyak kalangan susah move on, akibat keterlibatan yang terlalu intens dan dalam.

Ada yang menang ada yang kalah, itulah hidup! Hal itu merupakan keniscayaan dalam sebuah kontestasi. Siapapun yang menang harus kita dukung semampu kita, sebisa kita! Persatuan bangsa ini lebih penting dibanding dengan perebutan kepeng dan remah-remah kuasa. Seperti yang dikatakan oleh mereka yang menang bahwa kemenangan ini adalah kemenangan rakyat. Kita harus menggarisbawahi frasa kemenangan rakyat ini, bukan kemenangan individu apalagi oligarki. Kemenangan seluruh rakyat harus menjiwai dan mengejawantah dalam seluruh kebijakan para kepala daerah, bukan kebijakan yang hanya mengakomodasi kepentingan oligarki (mereka yang menaruh saham pada sebuah kemenangan kontestasi politik). Lebih ironi lagi jangan sampai seperti yang dikatakan Jeffrey  A. Winters dalam Oligarchy-nya bahwa suara rakyat hanya dipinjam melalui bilik-bilik suara setelah itu oligarki yang bekerja!.

Minggu, 27 Mei 2018

Kerja Politik vs Kerja Ikhlas


Karena citra dihadapan manusia adalah hal krusial dalam politik maka setiap kerja politik harus diumumkan, dipublikasikan. Apa yang telah dicapai dan apa yang telah dikerjakan harus diberitahukan agar menjadi bukti sahih bahwa ia telah bekerja dan mampu bekerja. Filosofi bahwa  tangan kiri  tidak usah tahu ketika tangan kanan melakukan kebaikan kehilangan eksistensinya dalam konteks kontenstasi politik. Kita tidak usah heran ketika timbul saling klaim atas sebuah keberhasilan, masing-masing pihak merasa paling berjasa! Kereta keberhasilan memang mengundang banyak gerbong untuk bergabung.

Sejatinya sebuah kerja itu tidak independen. Sebuah hasil itu tidak lahir dari kerja individual. Ia muara dari sebuah kerjasama dan kerja bersama. Gotong royong dalam arti yang sebenarnya. Sebuah bangunan berdiri karena susunan pasir-pasir kecil yang kalau dipecah lagi  terdiri dari gabungan partikel kecil. Namun khalayak terkadang hanya melihat yang besar...pimpinannya! Keringat pekerja-pekerja kasar hanya dihitung untuk kalkulasi biaya yang habis urusan ketika upah dibayarkan. Itulah mengapa banyak orang ingin jadi pemimpin! Walaupun banyak dari mereka yang menikmati popularitas di atas kerja keras anak buah dan bersembunyi di balik kesalahan anak buah ketika kegagalan menimpa.

Urusan keikhlasan memang bukan urusan kita. Kita tidak berhak memvonis ia ikhlas atau tidak, biarlah itu menjadi urusan ia dengan Sang Khalik. Kita hanya bisa meraba dari sinyal-sinyal panca indera. Sang Mukhlisun konon tidak lagi memperdulikan apresiasi manusia. Ia tidak lagi menghitung-hitung amal dan perannya. Ia menghindari panggung dan tepuk tangan manusia. Ia terus bekerja dan terus  waspada bahwa riya itu seperti semut hitam diatas batu hitam di malam yang gelap.

Sabtu, 26 Mei 2018

Tadabbur Tafakur dan Tasyakur (1)

Ujian keshabaran dan keimanan itu sejatinya adalah ketika kita menderita sakit. Apalagi ketika menderita sakit yang menurut medis "dekat" dengan kematian. Sebetulnya kita harus terus mengingat kematian dan bukankah dalam sebuah hadist juga dikatakan bahwa orang yang paling cerdas itu adalah orang yang selalu mengingat kematian dan mempersiapkan bekal untuknya. Tapi ketika sakit yang timbul adalah ketakutan. Peperangan batin antara menerima takdir dan mempertanyakan takdir. Upaya untuk berserah dan bertawakal mendapat perlawanan hebat bisikan-bisikan syetan dan lintasan-lintasan hati yang memberontak. Betul bahwa dikarunia qolbun salim adalah nikmat yang besar sekali, beruntung kita jika mendapatkannya. Pemasrahan kita terhadap apa yang Alloh takdirkan merupakan kunci. 

Jumat, 25 Mei 2018

Mengakrabi Kematian

Hikmah yang dapat kupetik dari dinamika kesehatan yang kujalani akhir-akhir ini adalah belajar mengakrabi kematian. Sesuatu yang sebelumnya hanya sebatas ingat-ingat lupa. Sebelumnya kematian dianggap masih jauh. Bagaimana ga seperti itu, wong dalam shalat pun pikiranku masih dikuasai dunia. Thulul amal begitu menjangkiti. Kita sibuk merencakan ini itu. Ntar mau ini ini itu!


Kematian yang dulu masih sayup-sayup kini serasa dekat. Dan sejatinya pun sebagai mahluk memang kita harus memandang kematian itu dekat. Pagi belum tentu kita ketemu sore dan hari ini belum tentu kita bertemu besok. Namun ya itu tadi, kita seringnya lupa. Kerlap kerlipnya dunia membuat kita terlena. 


Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Aku merasa sakitku sepertinya tidak seberapa dengan merasuknya penyakit wahn, cinta dunia dan takut mati. Itu yang membuat kita menghadapi kematian. Sesuatu yang sejatinya tidak bisa kita lawan, kita majukan atau kita mundurkan! Itu sudah ada dalam blue print hidup kita yang telah sejak lama Alloh tentukan. Bagiku bukan kematian yang aku takutkan, tapi episode setelah kematian! Fase perjalanan setelah kematian! Selamat atau celaka! Allohumma inni as aluka husnul khotimah! aamiin yra! 
Tetiba aku merasa aku merasa ibadahku merasa jauh dari cukup!
Belum berbuat banyak bagi agama dan orang lain!
Astaghfirullah! Ya Alloh beri aku kesempatan untuk mendapatkan Keridhoan-Mu! Menambah akfititas-aktifitas penghambaanku! Aamiin yra!

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...