Jumat, 13 September 2019

Tribute to BJ Habibie


Bendera Merah Putih di halaman kantor dipasang setengah tiang.
Berkabung atas perginya salah satu putera terbaik bangsa.
Prof. Dr. Ing. H. B.J. Habibie, FREng
Mudah-mudahan Alloh  SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya

Terima kasih atas segalanya
Senyumnya
Aura enerjiknya
antusiasnya
Melihat pancaran matanya saja tetiba aku merasa jadi pintar

Terima kasih atas segala teladannya
Hormat terhadap sesama manusia
Tunduk terhadap Tuhan...

Terima kasih atas segala kebesarannya....
Besar jiwa sehingga tidak pernah dendam terhadap orang dan kelompok yang menolaknya....
membenci...dan memperlakukanmu dengan tidak pantas!
Drama penolakan itu masih tergambar di benak.
Orang-orang dan kelompok itu masih teringat jelas!
Saat itu memang akal sehat kalah oleh opini publik
dan saat itu juga politik yang biasanya abu-bau mendadak jadi hitam putih!
tapi biarlah, bukankah Andapun pernah berkata, "Tuhan tidak buta!"

Saat itu memang serba salah
Segala sesuatu yang berbau Orde Baru dan Cendana bagai bau yang tidak boleh menempel
Yang biasa berwarna kuningpun ada beberapa yang ingin menjadi putih!

Bagaimanapun emas tetaplah emas
BJ Habibie tetap harum.....tanpa diharum-harumkan
benar apa yang dikatakan Anies Baswedan.... jangan khawatir apa yang dikatakan media sosial hari ini (kalau dulu hanya media cetak dan eletronik), tetapi pikirkanlah apa yang dikatakan sejarawan pada masa depan karena mereka yang akan menulis.

dan sejarah tentangmu adalah  sejarah tentang  KEBAIKAN dan INTEGRITAS!

Sabtu, 07 September 2019

Obatku Ikhtiarku


Memandang tumpukkan obat di sudut meja kadang membuatku menarik nafas panjang. "Uuggghhh!". Banyak sekali! Perjuangan seorang PHFighter! Sildenafil, Dorner, Bisoprolol dan Warfarin menjadi menu sehari-hari.

Beragam rasa muncul. Kadang timbul rasa bosan. Kadang juga ada rasa takut. Tapi asa dan semangat untuk sembuh dan bertahan berhasil melampui perasaan itu. Ketika ada peluang untuk sembuh atau setidaknya menjaga agar kondisi tidak menjadi lebih parah, manfaatkan!

Nyaris tidak pernah terpikir tiba di kondisi ini. Di titik episode takdir ini. Tapi aku tak lupa 40 tahun yang menakjubkan sebelum ini.

Alhamdulillah hidup masih berjalan. Beraktifitas secara maksimal memang belum bisa. Tapi aku harus terus bersyukur secara maksimal. Jalani nikmati syukuri...

Keterbatasan ini membuatku semakin memaknai setiap detakan jantung, setiap helaan nafas! Baru akhir-akhir ini merasakan bernafas itu begitu nikmat dan betapa setiap detakan jantung begitu berarti! Sesuatu yang dulu dianggap biasa-biasa saja!

Melalui obat juga belajar tentang hakikat. Tentang ikhtiar. Kadang juga pergulatan keyakinan. Antara obat dan Tuhan. Sejatinya minum obat hanya memantaskan ikhtiar. Yang menyembuhkan tetap Alloh SWT, Sang Maha Penyembuh.

Sesuatu yang tidak mudah, kadang kita bergantung pada obat dan dokter. Sekali lagi dosis dan dokter hanya sarana ikhtiar. Kita tidak boleh berpindah keyakinan.

Obatku ikhtiarku......tapi bukan Tuhanku.

Selasa, 03 September 2019

Fight The Fear





Mungkin perasaan takut tidak terlihat dari rangkaian foto-foto di atas. 
Semua terlihat baik-baik saja. 
Sebenarnya aku tengah berjuang melawan rasa takut.
Mengatur nafas agar asupan oksigen stabil
Berusaha terus bergerak agar  aliran darah berjalan lancar
Alhamdulillah everything is ok
#FightTheFear

Jumat, 09 Agustus 2019

Hikayat Si Penggantang Asap

Menyalakan api

 

Bagi seorang perokok,
menyalakan api di tengah hembusan angin adalah seni dan kerja keras.
Apalagi ketika pentul korek api hanya tinggal satu, dan tidak ada sumber api lain.
Tegang!
Nyaris seperti lolos tidaknya ujian penting.
Rokok tanpa api seperti soto tanpa kuah.

Aku pernah jadi perokok.
Yang betul perokok!
Berat si belum,
Hanya sudah addicted,
Sesuatu yang tidak kupercayai sebelumnya.

Cerita tentang  roko'annya aku itu panjang!
Mulai akhir 1996 sampai dengan pertengahan 2017. 
Dua puluh tahun lebih.
Luar biasa.....it's my wonderful life.

Lho ko wonderful?
Ya karena pernah membersamai dan dibersamai rokok.
Saya sudah sampai tahap menikmati rokok!
Sudah tahu jantung bermasalah....masih terus ngebul.
Ngopi, rokoan sambil merenung di pinggir kolam
itu bak keajaiban dunia ke 16.

Rokok pertama itu Djarum Super.
Terus lama Sampoerna Mild.
Lama-lama karena keuangan tidak stabil,
ya kaya asbak.
Segala masuk yang penting berasap.
Sukun, Djarum Cokelat,
Gudang Garam Merah, 
Gudang Garam Filter
Jie Sam Soe (kretek dan filter)
Paling lama ngisep Signature Mild
dari 2007 sampai 2016 (karena ga keluar lagi).

Pernah jadi perokok.
Kalau menyesal ya menyesal
tapi ya gimana, sudah terjadi.
Alhamdulillah ditakdirkan Alloh SWT dapat berhenti.
Biarlah menjadi sejarah.
Mengambil hikmah.
Berhentinya perlu niat dan perjuangan yang berat.





Kamis, 08 Agustus 2019

Antara BK dan PH


Kedua buku tersebut ada di perpustakaan sekolah-ku.
Jujur saja saat itu lebih renyah membaca biografinya Bung Karno (BK) karya Cindy Adams.
Maklum saat masa pencarian jati diri biasanya kita cenderung memilih jati yang berbeda, jati yang tidak kebanyakan.
Masa-masa berbaju putih abu adalah saat-saat kejayaan orde baru, dan aku agak anti mainstream...memilih untuk ga terlalu ngorba!

Ketika jaman Orba, Ngorla itu seksi.
hampir sama dengan Ngiri itu seksi.
Nanti akan ada masanya (Eh sekarang sudah mulai ding... Ngorba itu seksi)
Sesuatu akan lebih kita kenang ketika telah berlalu.
.....Kalau sudah tiada, baru terasa (kalau ini Ngrhoma).

Aku harus berterima kasih pada Orde Baru.
Mungkin karena aku orang biasa, ga nyleneh, ideologi juga nengah.
Jadi ga pernah ngerasa direpresip-in Orba.
Hidup di masa orde baru terasa fine-fine aza,
Rajin belajar, gemar menabung, rela menolong dan tabah merupakan semboyan perjuangan.

Nyari yang aneh ya baca buku-buku atau artikel tentang yang berbeda dengan berita RRI, TVRI atau koran Suara Karya.
Seragam suara rakyat karena harga beras, ikan asin, dan cabe keriting dilaporkan tidak bergejolak.
Ternyata suara-suara yang aneh dulu adalah kini  mereka yang kini suaranya seragam.
Hidup terkadang hanya perkara subjek atau objek.
Diburu atau memburu....

Bagaimanapun Orba itu ngangenin,
Serba murah, relatif aman,  tatanan kehidupan relatif terkelola walau dunia rasanya hanya milik ABRI, Birokrasi  dan Golkar.
.....dan melihat fenomena sekarang
sepertinya banyak hal dan orang yang akan Ngorba pada akhirnya....

Resign dari PNS

Kemarin chat dengan salah seorang teman. Sudah lama tidak bertemu dan bertegur sapa. Bagaimanapun silaturahmi itu harus tetap dijalin walau hanya sebatas menanyakan kabar di media sosial.

Ia positif mau resign dari PNS, per 1 Agustus.
sejak dulu memang tema itu sering kita diskusikan.

Saya selalu kagum pada orang-orang yang memilih resign dari PNS dengan dilatarbelakangi prinsip diri dan keyakinan.
Bagaimanapun,  keluar dari PNS adalah sesuatu yang out of the box.
Betapa tidak, ketika berjuta orang mengantre ikut seleksi PNS. Profesi itu iya tinggalkan dengan sadar dengan penuh percaya diri.

Eh tapi ternyata beliau ga jadi resign. 

Sabtu, 27 Juli 2019

#gaji8juta

sumber: Halaman FB Universitas Indonesia
Lagi rame ngebahas UI. Bukan tentang lompatan-lompatan inovasinya. Bukan juga tentang transformasi didalamnya. Bukan tentang parkirannya yang makin penuh. Bukan juga tentang demonstrasi-demontrasinya yang legendaris. Tapi tentang cuitan alumninya perihal pergajian.

Sebagai alumni UI (cie cie 8 juta dong ), aku nyengir kuda. Mengingat perdjoeangankoe dulu nyari kerja pertama sekitar tahun 2000. Melamar kesana kemari akhirnya mendapat panggilan, via karir.com. Wah senangnya bukan main. Wawancara terus psikotest, akhirnya diterima.

Boro-boro delapan juta menyentuh satu juta pun tidak. Uang kehadiran Rp. 20.000 sehari sebagai karyawan magang di PT Jurnalindo Aksara Grafika (Harian Bisnis Indonesia) adalah gaji pertamaku sebagai lulusan DIII Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Administrasi Niaga.

Ndak protes, menyadari diri hanya lulusan program vokasi non eksakta, IPK pun pas-pasan lagi.  Ndak terlalu mengeluh yang penting bisa hidup dan meneruskan kuliah S1 masih di Universitas yang sama. Yang penting aku diterima kerja dulu, menambah pengalaman yang akan jadi modal bagi perjalanan selanjutnya. Dan (mungkin ini utamanya) ada jawaban kalau ditanya teman seangkatan. “Kamu kerja dimana sekarang, Rif!”.

Ya memang masalah rejeki itu bukan kita yang ngatur. Juga bukan ditentukan oleh asal universitas. Lulus dari fakultas dan universitas yang sama bukan berarti akan sama nasib dan rejekinya. Itu hak prerogatif Gusti Alloh yang sudah tertulis jauh-jauh hari di Lauhul Mahfudz.  Menuntut ilmu di lembaga formal untuk menaikan tingkat pendidikan (yang oleh para ahli sosiologi dipercaya merupakan jalur cepat untuk mobilitas sosial) hanyalah kewajiban opsional (tidak semua orang  punya kesempatan). Berusaha untuk berilmu adalah berusaha untuk menggugurkan kewajiban. Usaha ini tidak terbelenggu ruang dan waktu apalagi terbatas oleh ruang kelas, kepemilikan kartu pelajar dan mahasiswa.

Menjadi berilmu tidak serta merta menjadi kaya materi. Alloh SWT menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang berilmu. Tapi derajat itu tidak harus selalu tentang  materi, kedudukan dan status sosial. Mereka yang tinggi derajatnya dalam pandangan mahluk bumi belum tentu dalam penilaian penghuni langit.

Misteri….ghaib tidak ada orang yang tahu, perjalanan waktu yang akan menjawab bab demi bab kehidupan seseorang. Pada tahun 2000 mungkin tidak ada seorangpun di republik ini yang membayangkan bahwa yang akan menjadi Presiden Indonesia ke tujuh adalah seorang Joko Widodo….tapi itulah takdir seorang anak manusia!

Rejeki itu tidak berbanding lurus dengan kecerdasan. Jangan sampai kecerdasan akademik yang Alloh karuniakan membuat kita menuntut rejeki yang lebih. Padahal kontribusi kita masih pas-pasan.
Yang jelas rejeki seseorang itu bukan perkara berapa dan menjadi apa. Keheningan berpikir akan mengajak kita pada pandangan bahwa apa yang terjadi pada kehidupan ini akhirnya akan bermuara pada makna dan manfaat. Sejauhmana kita memaknai dan memberi manfaat. Sebagai umat yang beragama kita meyakini bahwa setiap kenaikan nominal dan tugas fungsi pekerjaan berbanding lurus dengan tingkat tanggung jawab. Kini dan nanti.

sumber: Halaman FB Universitas Indonesia
Kuliah dan menjadi alumni Ivy League University di Indonesia secara pribadi memang membanggakan. Walau di sisi yang lain menjadi beban moral  dan tanggung jawab. Bahkan bisa  mengundang petaka ketika kita tidak bijak mengelola perasaan. Akan menjadi benih riya dan tinggi hati.

Yang jelas di Yaumul Hisab nanti asal tempat ilmu dituntut itu tidak penting. Yang akan jadi pertanyaaan adalah apakah kita masuk sekolahnya dengan jujur, apakah nilai-nilai didapat dengan jujur serta sejauhmana ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

Kemenangan

Euforia kemenangan itu singkat...tidak lama! Setelahnya tuntutan-tuntutan yang nyaris tiada akhir! Fiddunya wal akhirat!