Tampilkan postingan dengan label Politeknik Universitas Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politeknik Universitas Indonesia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Februari 2021

Latsamapta


Salah satu kesan indah yang diberikan oleh Politeknik Universitas Indonesia adalah Latsamapta-nya.
Latihan Dasar Kesamaptaan.
Dulu namanya Latsarmil.
Latihan Dasar Kemiliteran.
Digodog di Rindam Gunung Bunder Bogor.
Kalau Latsamapta pengampunya Brimob (Brigade Mobile).
Perubahan ini seiring dengan makin menghangatnya isu reformasi.
Saya Angkatan 1997.
Saat dimana kekuatan orde baru mulai berkurang satu persatu.
Kampus mulai menjaga jarak dengan militer. 

Kalau yang Latsarmil sampai kepada latihan menembak.
kita hanya sampai boleh pegang-pegang M-16.
Senangnya minta ampun.
Sepatu Lars Tentara
Pakaian lengkap Militer 
Gagah dah! 

Masih ingat yang pegang kompi kita Lettu Pulungan.
Orangnya ngocol ga terlalu tegang.

Enjoy!

Sabtu, 27 Juli 2019

#gaji8juta

sumber: Halaman FB Universitas Indonesia
Lagi rame ngebahas UI. Bukan tentang lompatan-lompatan inovasinya. Bukan juga tentang transformasi didalamnya. Bukan tentang parkirannya yang makin penuh. Bukan juga tentang demonstrasi-demontrasinya yang legendaris. Tapi tentang cuitan alumninya perihal pergajian.

Sebagai alumni UI (cie cie 8 juta dong ), aku nyengir kuda. Mengingat perdjoeangankoe dulu nyari kerja pertama sekitar tahun 2000. Melamar kesana kemari akhirnya mendapat panggilan, via karir.com. Wah senangnya bukan main. Wawancara terus psikotest, akhirnya diterima.

Boro-boro delapan juta menyentuh satu juta pun tidak. Uang kehadiran Rp. 20.000 sehari sebagai karyawan magang di PT Jurnalindo Aksara Grafika (Harian Bisnis Indonesia) adalah gaji pertamaku sebagai lulusan DIII Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Administrasi Niaga.

Ndak protes, menyadari diri hanya lulusan program vokasi non eksakta, IPK pun pas-pasan lagi.  Ndak terlalu mengeluh yang penting bisa hidup dan meneruskan kuliah S1 masih di Universitas yang sama. Yang penting aku diterima kerja dulu, menambah pengalaman yang akan jadi modal bagi perjalanan selanjutnya. Dan (mungkin ini utamanya) ada jawaban kalau ditanya teman seangkatan. “Kamu kerja dimana sekarang, Rif!”.

Ya memang masalah rejeki itu bukan kita yang ngatur. Juga bukan ditentukan oleh asal universitas. Lulus dari fakultas dan universitas yang sama bukan berarti akan sama nasib dan rejekinya. Itu hak prerogatif Gusti Alloh yang sudah tertulis jauh-jauh hari di Lauhul Mahfudz.  Menuntut ilmu di lembaga formal untuk menaikan tingkat pendidikan (yang oleh para ahli sosiologi dipercaya merupakan jalur cepat untuk mobilitas sosial) hanyalah kewajiban opsional (tidak semua orang  punya kesempatan). Berusaha untuk berilmu adalah berusaha untuk menggugurkan kewajiban. Usaha ini tidak terbelenggu ruang dan waktu apalagi terbatas oleh ruang kelas, kepemilikan kartu pelajar dan mahasiswa.

Menjadi berilmu tidak serta merta menjadi kaya materi. Alloh SWT menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang berilmu. Tapi derajat itu tidak harus selalu tentang  materi, kedudukan dan status sosial. Mereka yang tinggi derajatnya dalam pandangan mahluk bumi belum tentu dalam penilaian penghuni langit.

Misteri….ghaib tidak ada orang yang tahu, perjalanan waktu yang akan menjawab bab demi bab kehidupan seseorang. Pada tahun 2000 mungkin tidak ada seorangpun di republik ini yang membayangkan bahwa yang akan menjadi Presiden Indonesia ke tujuh adalah seorang Joko Widodo….tapi itulah takdir seorang anak manusia!

Rejeki itu tidak berbanding lurus dengan kecerdasan. Jangan sampai kecerdasan akademik yang Alloh karuniakan membuat kita menuntut rejeki yang lebih. Padahal kontribusi kita masih pas-pasan.
Yang jelas rejeki seseorang itu bukan perkara berapa dan menjadi apa. Keheningan berpikir akan mengajak kita pada pandangan bahwa apa yang terjadi pada kehidupan ini akhirnya akan bermuara pada makna dan manfaat. Sejauhmana kita memaknai dan memberi manfaat. Sebagai umat yang beragama kita meyakini bahwa setiap kenaikan nominal dan tugas fungsi pekerjaan berbanding lurus dengan tingkat tanggung jawab. Kini dan nanti.

sumber: Halaman FB Universitas Indonesia
Kuliah dan menjadi alumni Ivy League University di Indonesia secara pribadi memang membanggakan. Walau di sisi yang lain menjadi beban moral  dan tanggung jawab. Bahkan bisa  mengundang petaka ketika kita tidak bijak mengelola perasaan. Akan menjadi benih riya dan tinggi hati.

Yang jelas di Yaumul Hisab nanti asal tempat ilmu dituntut itu tidak penting. Yang akan jadi pertanyaaan adalah apakah kita masuk sekolahnya dengan jujur, apakah nilai-nilai didapat dengan jujur serta sejauhmana ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

Senin, 04 Februari 2019

UI, Sebuah Dejavu


Tahun 1995 pertama melihat landmark Universitas Indonesia. Saat itu sedang ngikut Latihan Kepemimpinan di PPPG Bahas Srengseng, melawati bunderan UI studi banding ke SMA 8 Jakarta. Tak berbayang tahun 1997 bisa menjadi mahasiswanya. Mahasiswa Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Universitas Indonesia.

Hidup kadang mengalami dejavu. Kembali mengakrabi bunderan UI, dan suara sirene perlintasan Kereta Api Listik yang dulu dikirain suara apa. Merasakan atmosfer salah satu top tier pendidikan tinggi di Indonesia bagi saya sebuah kemewahan. Seorang anak kampung dengan banyak keterbatasan. 

Jujur saja kuliah di sini adalah lebih berat di sisi perjuangan hidupnya. Survive dari hari ke hari. Maklum sistem kuliah di Politeknik tidak memungkinkan untuk banyak beraktifitas di luar. Secara akademis bisa diikuti walau dengan tergopoh-gopoh. Dapat nilai A sangat sulit disini. Mungkin karena sayanya kurang rajin (dan kurang cerdas) hehehehe. 

Kuliah di sini di kurun waktu 1997-1998 berarti merasakan kenikmatan dan kemewahan orde baru. Biaya kuliah hanya Rp. 500.000 tanpa harus bayar ini itu lagi. Semua sama tidak ada yang menikmati privacy sebagai orang kaya atau karena anugerah kecerdasan. Asal lulus test masuk silakan untuk mengasah diri. Tidak banyak jalur dan tidak banyak alternatif. 

Tibalah goro-goro 1998, reformasi kata orang-orang. Demo-demo mulai marak. Ikut juga lah, walau hanya di dalam kampus. Sekedar menyumbang satu teriakan hidup dan satu kepalan tangan. Jaket kuningku relatif bersih baik keringat maupun emblem UKM.

Amien Rais masih sebatas orator, Faisal Basri biasa dari dulu menyoroti ekonomi. Begitu juga dengan Sri Mulyani. Dua orang ekonom ini berangkat dari moment yang sama tapi nasibnya berbeda. Padahal dari dulu Faisal Basri sudah lebih berkeringan dan lebih dalam terjun ke politik. Ya itulah nasib.

Dua dekade ternyata melihat muara apa yang terjadi pasca goro-goro 1998. Pentolan organisasi ini itu yang subur di saat itu dan aktif di demo ini itu banyak menuai hasil saat ini. Kebanyakan jadi wakil rakyat di berbagai tingkatan dari berbagai organisasi politik. Baju kini kadang beda sama baju dulu, atau baju kini lebih menjelaskan baju mereka dulu. 

Mereka dari dulu berani beda dan wajar apabila kini luar biasa! Mereka berani menanggung resiko. dan memang rata-rata orang berani lebih berhasil...mereka berani mempertaruhkan hidupnya! sama-sama berjuang dalam berbagai bidang kehidupan.

Lha saya memang dulu bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Pemain aman mungkin. Lebih tepatnya pemain aman yang biasa-biasa saja . Yang mood hidupnya banyak ditentukan oleh menang tidaknya AC Milan. Ya wajar saja sekarang juga masih tetap biasa-biasa aja. Ordinary people in ordinary world!

Sabtu, 17 November 2018

Test CPNS

Kartu Peserta Test CPNS 

Sebetulnya jadi PNS itu ya ingin ga ingin. Sehabis lulus SMA pernah ikut test STPDN, bapakku terobsesi banget anaknya jadi praja STPDN (dulu APDN). Mungkin beliau terpesona kegagahan oleh alumni APDN yang pernah praktek di desa atau yang bertugas di kecamatan. 
Gagal (sepertinya ada permasalahan dengan kesehatanku).
jadi aku ikut UMPTN saja. 
Eh gagal juga.

Sehabis mendapatkan ijazah diploma dan strata satu, seperti teman-teman lain cita-cita ya bekerja di seputaran Sudiraman MH Thamrin.... eh nyangkutnya magang di Wisma Bisnis Indonesia, Slipi. Tapi setidaknya pernah merasakan atmosfir bekerja di ibukota.

Dulu test CPNS belum pakai CAT (Computer Assisted Test), masih test manual menghitamkan lingkaran jawaban dengan pensil 2B. Metode test biasa, Ebtanas, UMPTN dan SIMAK diberbagai Perguruan Tinggi memakai metode itu. Setelah menjawab dengan maksimal harapan selanjutnya lembar jawaban bisa dibaca scanner dengan baik. Selanjutnya berdo’a mudah-mudahan nilai yang didapat lebih baik dari peserta  yang lain.

Soalnya seputar wawasan kebangsaan/sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, TPA dan seputar program studi. 

Tahun 2003 mengikuti test serupa. Gagal, belum takdirnya. Tahun 2004 ikut lagi. Mencoba lagi. Selalu ada harapan bagi mereka yang terus berusaha dan berdoa.

Masih di kabupaten dan formasi yang sama. Formasi Tenaga Teknis Administrasi Persyaratan DIII Lulusan Program Studi Kesekretariatan IPK Minimal 2,50. Pas banget dengan Ijazah yang ku pegang Program Studi Kesekretarian dan Administrasi Perkantoran, program studi yang dulunya agak aku sesali. Aku merasa program studiku kurang maskulin. Ternyata akhirnya ada hikmah dibalik itu, program studi yang jarang sehingga ketika test berlangsung sainganku hanya sekitar 11 orang.
IPK-ku pun pas-pasan banget…. Hanya terpaut 0,3 dari syarat minimal. Ya IPK DIII-ku hanya 2,53 (tapi dari Politeknik Universitas Indonesial lho….. sombong dikit boleh ya). Ga berbeda dengan tahun sebelumnya, tingkat keyakinanku bisa menjawab benar 70%-an soal.


Test usai sudah. Aku tidak berharap banyak. Kuputuskan untuk kembali ke Jakarta.Kembali melamar pekerjaan. Kembali rajin membuka Karir.com, Koran Kompas edisi Sabtu dan Minggu. Membikin dan mengirimkan lamaran. Hidup kembali penuh penantian….dering telepon menjadi sesuatu yang dirindukan.

Akhir Desember keluarga dan teman memberi tahu bahwa namaku ada dikoran….aku lolos test CPNS….. Wah massa!
Alhamdulillah!

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...