|
sumber: Halaman FB Universitas Indonesia |
Lagi rame ngebahas UI. Bukan tentang lompatan-lompatan inovasinya. Bukan juga tentang transformasi didalamnya. Bukan tentang parkirannya yang makin penuh. Bukan juga tentang demonstrasi-demontrasinya yang legendaris. Tapi tentang cuitan alumninya perihal pergajian.
Sebagai alumni UI (cie cie 8 juta dong ), aku nyengir kuda. Mengingat perdjoeangankoe dulu nyari kerja pertama sekitar tahun 2000. Melamar kesana kemari akhirnya mendapat panggilan, via karir.com. Wah senangnya bukan main. Wawancara terus psikotest, akhirnya diterima.
Boro-boro delapan juta menyentuh satu juta pun tidak. Uang kehadiran Rp. 20.000 sehari sebagai karyawan magang di PT Jurnalindo Aksara Grafika (Harian Bisnis Indonesia) adalah gaji pertamaku sebagai lulusan DIII Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Administrasi Niaga.
Ndak protes, menyadari diri hanya lulusan program vokasi non eksakta, IPK pun pas-pasan lagi. Ndak terlalu mengeluh yang penting bisa hidup dan meneruskan kuliah S1 masih di Universitas yang sama. Yang penting aku diterima kerja dulu, menambah pengalaman yang akan jadi modal bagi perjalanan selanjutnya. Dan (mungkin ini utamanya) ada jawaban kalau ditanya teman seangkatan. “Kamu kerja dimana sekarang, Rif!”.
Ya memang masalah rejeki itu bukan kita yang ngatur. Juga bukan ditentukan oleh asal universitas. Lulus dari fakultas dan universitas yang sama bukan berarti akan sama nasib dan rejekinya. Itu hak prerogatif Gusti Alloh yang sudah tertulis jauh-jauh hari di Lauhul Mahfudz. Menuntut ilmu di lembaga formal untuk menaikan tingkat pendidikan (yang oleh para ahli sosiologi dipercaya merupakan jalur cepat untuk mobilitas sosial) hanyalah kewajiban opsional (tidak semua orang punya kesempatan). Berusaha untuk berilmu adalah berusaha untuk menggugurkan kewajiban. Usaha ini tidak terbelenggu ruang dan waktu apalagi terbatas oleh ruang kelas, kepemilikan kartu pelajar dan mahasiswa.
Menjadi berilmu tidak serta merta menjadi kaya materi. Alloh SWT menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang berilmu. Tapi derajat itu tidak harus selalu tentang materi, kedudukan dan status sosial. Mereka yang tinggi derajatnya dalam pandangan mahluk bumi belum tentu dalam penilaian penghuni langit.
Misteri….ghaib tidak ada orang yang tahu, perjalanan waktu yang akan menjawab bab demi bab kehidupan seseorang. Pada tahun 2000 mungkin tidak ada seorangpun di republik ini yang membayangkan bahwa yang akan menjadi Presiden Indonesia ke tujuh adalah seorang Joko Widodo….tapi itulah takdir seorang anak manusia!
Rejeki itu tidak berbanding lurus dengan kecerdasan. Jangan sampai kecerdasan akademik yang Alloh karuniakan membuat kita menuntut rejeki yang lebih. Padahal kontribusi kita masih pas-pasan.
Yang jelas rejeki seseorang itu bukan perkara berapa dan menjadi apa. Keheningan berpikir akan mengajak kita pada pandangan bahwa apa yang terjadi pada kehidupan ini akhirnya akan bermuara pada makna dan manfaat. Sejauhmana kita memaknai dan memberi manfaat. Sebagai umat yang beragama kita meyakini bahwa setiap kenaikan nominal dan tugas fungsi pekerjaan berbanding lurus dengan tingkat tanggung jawab. Kini dan nanti.
|
sumber: Halaman FB Universitas Indonesia |
Kuliah dan menjadi alumni Ivy League University di Indonesia secara pribadi memang membanggakan. Walau di sisi yang lain menjadi beban moral dan tanggung jawab. Bahkan bisa mengundang petaka ketika kita tidak bijak mengelola perasaan. Akan menjadi benih riya dan tinggi hati.
Yang jelas di Yaumul Hisab nanti asal tempat ilmu dituntut itu tidak penting. Yang akan jadi pertanyaaan adalah apakah kita masuk sekolahnya dengan jujur, apakah nilai-nilai didapat dengan jujur serta sejauhmana ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.