Kamis, 25 Agustus 2016

Lodong Kosong Ngelentrung!


Kami menyebutnya Lodong. Terbuat dari bambu, biasanya bambu jenis Gombong atau Bitung. Lodong ini adalah untuk menampung air nira Kawung (Aren ) yang nantinya diolah menjadi gula. Sehabis dipakai biasanya disterilkan dengan diasapin di hawu (perapian tradisional). Kalau di Bahasa Indonesia ada peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya nah di Bahasa Sunda paribasa "Lodong Kosong Ngelentrung" artinya mirip "orang yang banyak bicara biasanya ga ada isinya".


Sigay


Selain lodong, piranti terkait prosesi membuat gula adalah sigay. Sebatang kayu yang digunakan sebagai tangga untuk menaiki pohon aren. 

Selasa, 23 Agustus 2016

Menjadi Paskibra


Jadi Komandan Pasukan atau Komandan Upacara udah sering (kan mantan KM ma Ketua OSIS heheheh), Tapi kalo jadi Pasukan Pengibar Bendera, ini kali pertama. Menjadi Paskibra itu rasanya beda, serasa jadi pusat perhatian plus biang sukses atau biang kegagalan. Tapi alhamdulillah Upacara Peringatan HUT RI ke 71 di lingkup Sekretariat DPRD Kabupaten Ciamis berjalan lancar jaya. Sang Merah Putih berkibar di udara. Begitu juga hatiku dan dua teman di kanan kiriku....berkibar-kibar! Mission accomplished!

Waktu SMA pernah ingin ikut Eskul Paskibra, Ikut latihan pertama bersama (masih ingat medio 1993 di Stadion Dadaha Tasikmalaya), sudah sangat menguras tenaga dan mental!. Yo mutung, ga lanjut, calon seniman ko dibentak-bentak hehehehe!. Begitu juga ketika mo ikut Eskul Pramuka, prosesnya serasa ribut banyak ini itu....yo mutung maning, calon filsuf ko disuruh-suruh bhahaha! Salut buat kawan-kawan yang paripurna jadi Paskibra atau Pramuka, atas keuletan melewati tahap demi tahap! Aku memang cenderung impulsif dan kurang shabar menanggung penderitaan  hikshikshikshiks !

Selamat Hari Jadi Indonesiaku!
Mari kita bekerja nyata!
"Setiap Kerja, yang bukan kejahatan, adalah Mulia" -Nyanyi Sunyi Seorang Bisu- (Pramoedya Ananta Toer).

Sabtu, 13 Agustus 2016

Quotes of The Day

memilih adalah tawaran hakiki dari pencipta, dengan itu pula manusia menjadi terbebaskan sekaligus terikat. terbebas dari kekuasaan, keyakinan dan kepentingan akan tetapi terikat oleh kesadaran diri akan kebenaran yang dapat dipahaminya dan pilihan yang diambilnya.

Hindari kemalasan, ia adalah karat yang menempel pada loga yang paling cemerlang (Voltaire)

hal hebat takkan dicapai oleh orang yang mengikut trend dan opini yang jamak (Jack Keroual)

Hidup bukan perkara gampang, engkau tak bisa melewatinya tanpa jatuh ke lembah frustasi dan sinisme hingga engkau menemukan ide besar yang mengangkatmu dari penderitaan, kelemahan dan segala jenis pengkhianatan (Leon Trostky)

Don't bother about genius. Don't worry about being clever. Trust in hardwork, perseverance and determination. And the best motto for the long march is "Don't grumble, plug on" (Frederic T)

seorang da'i itu memiliki tempat terhormat di hati masyaraka, ketika ia sedang ghaib semua mata mencarinya dan semua hati merindukannya. karena itu ia tidak keluar rumah kecuali jika dibutuhkan.

kemuliaan waktu terletak pada nilainya di sisi Alloh, bukan di sisi manusia

jangan sekali-kali kamu mendiskreditkan orang, lembaga atau pihak tertentu

siapa yang duduk bersamamu jangan tinggalkan dia sebelum kamu menanam kebaikan dalam hatinya meskipun hanya dengan gerak, kata atau isyarat.

Senin, 08 Agustus 2016

Bourne dan Keamanan Informasi Kita


Ga tahu kenapa seneng sama  sekuel Jason Bourne. Sejak 8 tahun lalu melalui VCD yang disewa dari Ultra Disk, tempat penyewaan VCD/DVD original di seputaran Alun-Alun Ciamis. Sekarang sudah tidak ada. The Bourne Identity,  The Bourne Supremacy The Bourne Ultimatum, The Bourne Legacy ( sekuel ini kurang greget) dan terakhir Jason Bourne seolah tidak membosankan untuk ditonton. Entah sudah berapa kali (kecuali sekuel terbaru). 

Mungkin karena alur ceritanya yang anti mainstream. tidak seperti film barat kebanyakan (walaupun rohnya mungkin sama, superioritas barat). di film ini ada semacam koreksi terhadap apa yang dilakukan dan dipikirkan barat. terlebih di sekuel terakhir. tentang internet, tentang praktek hacking, tentang keamanan informasi,  tentang kebebasan pribadi versus keamanan informasi negara. 

Menjadi pemikiran bagi kita tentang keamanan informasi yang sudah nyaris telanjang. data-data pribadi yang telah kita serahkan secara sukarela menjadi database aplikasi-aplikasi populer yang entah benar2 dijamin keamanannya atau....ah sudahlah. 

Rabu, 06 Juli 2016

Iwan Fals v.79-98

Tetiba aku rindu Iwan Fals v.79-98 (Iwan Fals Versi 1979-1998) yang posternya pernah dengan bangga aku sandingkan dengan poster Bung Karno....
Sekonyong-konyong aku ingat Petisi 50, Alm WS, Rendra dan Gunawan Muhammad v.kmsk (GM versi ketika masih saya kagumi)
Tidak tahu mengapa aku mengenang kembali mereka-mereka yang berani menempuh langkah berbeda....berani bersuara sumbang dan mengambil jarak dengan kekuasaan....

Kuda Lumping dan Hio-nya SWAMI masih sering aku putar menemani perjalananku. Tetap Legend dan punya ruh perlawanan...semangat anti penindasan dan kesewenang-wenangan!
Bento...Sumbang...Bongkar...kok sekarang terdengar agak seperti kelakar ya! (Apa karena faktor Bang Iwan?.

Negara ini butuh mereka yang bersuara berbeda!
Butuh koreksi!
Bukan koor setuju....eh Bang Iwan lagi deh.

Pertengahan tahun 90-an suara yang berbeda begitu penasaran untuk didengan
tulisan yang nyleneh begitu indah untuk dibaca
Selebaran gelap propaganda dan agitasi...
Buku putih versi ini dan buku putih versi itu
beli dan baca tabloid detik sembunyi-sembunyi
Emha ainun nadjib masih seperti dulu kayanya....istiqomah dengan prinsipnya
baca dialog imaginer dengan Bung Karno itu seprerti gimana rasanya
Dari dulu Agum Gumelar dan Hendropriyono cenderung dekat dengan para aktifis. Dan sekarang terlihat benar merahnya.
Membaca riwayat Budiman Sujatmiko...sejak masih diOTB-kan....sekarang tengah menikmati perjuangannya....selamat Mas, dunia memang berputar! Sebatas berganti peran, dulu objek sekarang (mungkin) objek....dulu di sekarang me!



Rabu, 29 Juni 2016

Pembelajaran dari Petasan

Walaupun sampai saat ini saya belum menemukan kajian yang komprehensif baik dari segi sosiologis maupun filosopis tentang mengapa di bulan ramadhan orang suka menyalakan petasan, saya termasuk  orang yang kurang setuju dengan pelarangan petasan dengan alasannya :

pertama petasan dapat melatih kewaspadaan, kehati-hatian dan keshabaran
kedua petasan dapat memutar roda perekonomian.

Anak yang ingin menyalakan petasan sebenarnya sedang mengalami perkembangan psikologisnya. Ingin mencoba sesuatu yang dia sendiripun tahu bahwa itu bahaya. Tapi ia ingin eksis dan ingin mencoba (ini poin positif), tahu resikonya dan siap menempuh resikonya (ini juga positif). Bagi penyala pemula (begitu saya menyebut anak yang pertama menyalakan petasan), pasti ia beli petasan yang kecil-kecil dulu! eh pertamanya dia beli kembang api yang hanya nyala saja, terus beli obat mentol, yang bunyi ketika dipukul batu! setelah lulus ia beli cecengekan alias cabe rawit yang  bunyinya perepet perepet perepat....trus beli petasan yang meledak di udara dan akhirnya petasan ukuran yang cukup besar. Nyalainnya juga bertahap kalau pemula nyalainnya sumbunya dipanjangin pake kertas atau pahpir rokok....jago sedikit petasan ditaro di tanah lalu dinyalain langsung! Nah kalo yang udah master tangan kanan pegang petasan tangan kiri pegang korek api! nyalain lalu lempat.....luar biasa!

kedua soal mengapa petasan memutar roda perekonomian! petasan kebanyakan produk lokal dan  tradisional dengan harga yang tidak terlalu mahal beda dengan kembang api yang kebanyakan produk luar negeri dan harganya selangit..... bagi saya ga worthed uang 75.000 ditukar dengan 5 kali ledak plus ornamen-ornamen cahaya! #ijinkan saya berbeda pandangan hehehe. 




JAMALEM

Romadhon beuki cueut ka ahir. Nafakuran umur jeung kahirupan nu keur disorang....beuh geus lumayan panjang geuning lumampah teh. Saprak sawawa meureun geus aya kana tilu puluh tilu kalina kuring ngalaman puasa bari puasa. Baheula mah asa kumaha kitu nyorang puasa teh.  Mangsa budak mah puasa teh teu jauh tina ngabuburit jeung ngumpul-ngumpul takjil. Teu leupas nyeungeutan pepetasan jeung bedil lodong. Dipapaes ku tadarus jeung kuliah subuh bari silih sered ari taraweh. (Ari ayeuna?....duh  gusti asa jadi jalma pangsibukna gening kuring teh!. 

Malikan deui ka mangsa budak, masih jelas dina ingetan kumaha kekerotna Pak Kuwu Suhro nahan amarah sabab nepi ka ek labuh kaseredkeun ku barudak (eh pamuda ketah).  Tapi da ek ngambek kumaha da budakna sorangan kaasup anu rada mijah dina heureuy ari taraweh teh. Ngan sok aneh ku pengeresa Aa Ajengan (sok sanajan ayeuna anjeuna tos sepuh kuring masih keneh nyebut Aa) sakainget kuring teu pernah nyarek barudak kitu talajak! Aamiin patarik-tarik...shalawat diantara rokaat taraweh dihareureuykeun....alhamdulillah ayeuna mah geus teu aya silih sered ngan ari hohoak aamiin mah masih  aya keneh (Ciri khas Asep budak Pak Kuwu Suhro tea).....sing tarik atuh aminna Ef! kita cenah anapok teh!

Ari jamaah taraweh, panyakitna sarua meureun jeung di wewengkon-wewengkon sejen. Pas malem kahiji pinuh....beuki lila beuki ngurangan! Tah mun asuk kana malem lilikuran karek rada pinuh deui.Sababna mah jelas.....aya tumpeng mun malem ganjil (malem 21, 23, 25, 27,29) sigana mah dina raraga mapag lailatul qodar. Istilah kanu sok taraweh ngan ukur malem ganjil teh nyaeta JAMALEM.....Ngahaja malem! Pangalaman naragog di Pos Ronda bari babarengan ngahuapkeun tumpeng sabalad-balad mangrupakeun pangalaman anu hese dipopohokeun salianti curuk anu bohak alatan pepetasan ngabeledug dina leungeun!


Senin, 27 Juni 2016

Sapedah Anyar


Ngaletey ieu hate waktu budak kuring nu cikal kedal ucap " Pa, ngan abdi wungkul nu teu gaduh sapedah teh!". Baheula kungsi pangmeulikeun budak teh sepedah, Selamat Bersepeda Nak! ngan ayeuna geus ruksak. Diomean ku akina diganti ku sepeda kurut. Kusabab meureun dasarna kurang hade, eta sapedah teh meusmeus pegat rante...meusmeus kempes. Akhirnya ngumbruk di juru garasi. Teu kagambar sumeresetna batin nempo budak nutur-nutur babaturanana nu make sapedah. 
Alhamdulillah anyar-anyar ieu meunang rejeki. Langsung we dibeulikeun kana sapedah. Sakalian hadiah sabab teu lila deui  Si Cikal ek di salametkeun. Geus teu kaitung manehna ngagerenyih hayang disunatan. Bismillah we, mudahan aya jalanna tur dilancarkeun ku Gusti Alloh SWT,

Budak kuring kacida atoheunana. Teu sirik unggal usik sesepedah sok sanajan bari diajar puasa ge. Tapi da meureun memang keur geugeut. Ka Madrasah di sepedah, ka masjid oge disepedah. Mudah-mudahan we budak teh jadi budak anu sholeh. Kabagjaan kuring teu eleh ku kabagjaan budak. Nempo budak bagja teh nya kuring ge bagja pisan. Kabagjaan anu susah diteangan bandinganana. 

Minggu, 05 Juni 2016

Munggahkeun Kaimanan!

Pikeun sakumna urang Sunda pasti apal jeung osok ngiluan munggahan, hiji kaarifan lokal urang Sunda dina nyanghareupan ibadah shaum. pisapoeun deui kana puasa eta kagiatan teh! sakaapal kuring nu disebut munggahan teh baheula mah nganteurkeun kadaharan dina rantang. nguriling ka kadang wargi. dulur-dulur oge tatangga. 

Sabada beres babagi kadaharan utamana sangu katut kalengkepanana (eh enya baheula mah tahu tempe teh mewah, nya ayana teh mun teu dinu hajat nya lamun pas munggahan) di sambung ku diangir. kuramas, adus dina raraga nyangheurapan puasa. Sunat cenah hukumna.

Tapi da ayeuna mah asa geus teu manggih munggahan model kitu teh. duka leuwih praktis duka memang pergeseran budaya. munggahan ayeuna mah biasana balakecrakan bareng di hiji tempat. bisa di imah, di tempat wisata malah keur kaom anu ekonomina rada undak mah biasana di restoran atawa rumah makan. 

Eta kaarifan lokal teh hade pisan! mudah-mudahan ulah nepi ka ngageser tina filosofi awalna. 
lain ngan saukur ngeunahna kadaharan, atawa ramena acara komo deui bari ngahambur-hambur sumberdaya.
munggahan intinana mah persiapan munggahkeun diri (puncakna mah ke pas ibadah shaum)
munggahkeun kaimanan diri
ningkatkeun kualitas katakwaan....
saperti anu jelas kauger dina papagon hirup urang.....Al Quranur Karim!
Wilujeng Mapag Sasih Ramadhan 1440 H
Sajam satengah deui kana adzan Magrib kahiji di sasih Ramadhan

Jumat, 03 Juni 2016

Gus Jakfar (KH. Musfofa Bisri)

 Salah Cerpen Favoritku

GUS JAKFAR

oleh : A Mustofa Bisri
Kompas - 6/23/2002

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya.""Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." 
"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilanga keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"
"Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.
"Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabiswiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar,rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
 "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak mau."
 "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keingina saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakka itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pu pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indahmemancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

 Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."

 "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka.
 "Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam
lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang."
 "Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang- orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara
yang jauh, melambaikan tangan." "Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."
 "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang- orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap- sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit, 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. ***

Rembang, Mei 2002


Kamis, 02 Juni 2016

Runtuhnya Warung Tetangga Kami

Ketika sebuah minimarket merek terkenal mulai beroperasi tidak jauh dari tempat tinggalku perasaanku sedih-sedih senang  (mirip ngeri-ngeri sedaplah). Senangnya, kalau mo beli barang yang ga ada di warung tetangga tidak harus ke pusat kota. Sedihnya, menurut asumsiku setidaknya kehadiran minimarket itu akan menurunkan omset warung-warung di sekitarnya. (mudah-mudahan saja tidak). Kalau pakai hitungan kasar, minimal 10 warung akan terdampak. So, setidaknya 10 keluarga yang ekonominya ditopang oleh warung itu akan terganggu. Kalau misalnya 10 warung itu menopang kehidupan sedikitnya 4 orang maka akan ada  40 orang yang kehidupannya agak goyang-goyang. Asumsi saya paling minimarket tersebut menampung tenaga kerja maksimal 4-7 orang, dan itu pun biasanya angkatan kerja baru yang belum punya kewajiban untuk menanggung beban hidup orang lain.
Tidak untuk menyalahkan apa-apa dan siapa-siapa!
Hanya diri ini kembali diyakinkan bahwa kehidupan ini memang keras!
Para pemodal besar itu kini telah hadir di pekarangan-pekarangan kami.
“The survival of the fittest….yang kuatlah yang akan menang!”, begitu kata Mbah Charles Darwin.
Walau konteksnya seperti melihat kelinci yang harus bertarung dengan gajah!
Ya mo gmna lagi, itu kenyataan yang harus kita terima. Ada kebebasan berusaha dan berekonomi,  ada pula kebebasan memilih!
Sekali-kali ya kita juga ke Minimarket!
Tapi, bo ya kita juga jangan melupakan saudara-saudara kita yang membuka warung!
Marilah kita lebih menaruh solidaritas pada mereka!
Walau harga mungkin sedikit lebih mahal!
Walau suasananya ga adem dan agak temaram!
Walau tanpa potongan harga yang tidak kami pahami benar bagaimana caranya!
Walau kadang-kadang harus nunggu lama karena penjaga warungnya entah kemana!

Tapi mereka juga adalah kita!
Tetangga-tetangga kita juga adalah saudara kita yang harus kita perhatikan kelancaran ekonominya! membelinya berarti secara tidak langsung memperkuat ketahanan ekonomi keluarganya! Kalau ekonomi keluarga-keluarga di sekitar kita kuat, berarti ekonomi negara kita juga akan kuat!
bukan begitu!
Ah ini mah igauan ekonomom kelas kampung!
yang pengantar ekonomi saja cuma dapat C!
makanya jangan terlalu dipercaya!

Hanya Alloh yang Maha Tinggi

Ketika kita meninggi, sekitar kita akan terlihat di bawah. Manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda akan terlihat kecil. Kalau tidak mawas d...