Dekade 90an jarang (hampir tidak ada) yang memakai hijab di tempat umum.
Kecuali keluarga Ajengan (itupun tidak semua)
Santriwati yang betul-betul nyantri
dan para wanita tua, itupun memakai penutup kepala sederhana,
Biasa di sebut ciput.
Hari ini tanggal 1 Februari.
Diperingati sebagai World Hijab Day.
World Hijab Day diinisiasi pada tahun 2013 oleh Nazma Khan,
seorang muslimah berhijab yang tinggal di New York, Amerika Serikat.
Ia mencetuskan World Hijab Day untuk mempromosikan toleransi beragama dengan menyerukan perempuan muslim yang tak berhijab dan perempuan non muslim untuk mencoba mengenakan hijab selama sehari. Ini dilakukan untuk menciptakan toleransi dan penghargaan terhadap pemakai hijab.
Seperti dilansir dari The Print, Nazma Khan yang tumbuh di New York, mencetuskan World Hijab Day untuk membuat orang-orang terbiasa menyaksikan perempuan berhijab. Nazma sendiri datang ke Amerika Serikat dari Bangladesh pada usia 11 tahun. Dia adalah satu-satunya anak perempuan yang mengenakan hijab di sekolahnya. Hal itu merupakan pengalaman yang sulit baginya.
Kini hijab semakin memasyarakat.
Kalau dulu agak aneh manakala ada wanita memakai hijab di area publik,
kini sebaliknya.
Mudah-mudahan bukan sekedar trend atau fashion.
Apalagi ikut-ikutan!
Tapi berdasarkan keyakinan.
Sabtu, 01 Februari 2020
Jumat, 31 Januari 2020
My Gojek/Grab My Adventure
Logo Grab dan Gojek (sumber: liputan6.com) |
Apalagi kalau naik motor!
Jarak rumah ke kantor kurang lebih 5 km.
Isi bensin full tank motor cukup untuk seminggu pulang pergi kantor.
Kecuali kalau pakai mobil, baru terasa.
Tapi semenjak badan kurang fit.
tidak berani naik motor lagi, mobil juga.
sekarang ngandelin Gocar atau Grabcar.
Mobilitas dari dan ke tempat kerja jadi terasa biayanya,
walau masih worthed dan terjangkau.
tapi ya itu, alokasi biasa transportasi sekarang terasa cukup besar.
Di tengah segala keterbatasan,
tetap bersyukur dan mengambil hikmah.
alhamdulillah sekarang ada transportasi online,
simbiosis mutualisme.
Thanks Gojek and Grab.
Thanks Komunitas driver online Ciamis:
Om Aris, Om Ray, Om Dedi,
Om Yayat, Om Nunu dan lain-lain.
Selalu bersyukur...
masih bisa kesana kemari walau terbatas.
masih bisa beraktifitas walau terbatas.
dan yang terpenting....
masih diberi kesempatan bisa bernafas.
Ketika sehat,
detak jantung dan desah nafas hampir luput kita syukuri.
kehadiran jantung dan paru-paru dirasa sebagai hal yang biasa,
seuatu yang taken for granted.
sehingga kadang lupa kita rawat.
sering kita racuni.
luput ngasih nutrisi.
lupa memberi waktu istirahat!.
Pada yang Alloh kasih kelapangan
bersyukurlah
berikan hak-hak tubuh
hak-hak ruhiah!
Apa yang dicari?
sebanyak apa yang kita punya
setinggi apa yang kita capai
Suatu saat akan tiada arti!.
Minggu, 26 Januari 2020
Mendapat Hidayah di Al Hidayah
Salah Satu Sudut Mesjid Al Hidayah Smandatas |
Luasnya juga fasilitasnya.
Kini megah dan artistik,
Dua lantai dengan arsitektur minimalis moderen.
Al Hidayah adalah nama mesjid sekolah kami,
SMA Negeri 2 Tasikmalaya.
Mesjid awal-awal saya mengerjakan Dhuha.
Dengar sudah lama tapi mengerjakannya ya pas SMA itu.
Walaupun niatnya papuket jeung pabaliut antara lillah,
Kabur dari kelas karena stres dengan Matematika, Kimia dan Fisika,
dan harapan untuk ketemu bunga hati (walaupun nyatanya bunga itu hanya tumbuh di hatiku, tapi tidak dihatinya)...duh so sad ari inget carita eta!
Di mesjid ini pula mulai mengenal harokah islamiah.
Menumbuhkan persisnya. Almarhum ayahku yang menanamnya!.
Terpesona melihat orang pintar dan sholeh.
Sedangkan aku pintar ngga dan ngga sholeh-sholeh amat hihihi.
Absurd memang.
Ada pengalaman lucu.
Ikut kegiatan Irema, semacam pengkaderan begitu mungkin.
Pas qiyamul lail (bisa jadi ini tahajudku yang pertama)
....bacaan suratnya panjang banget!.
Bagiku yang biasa surat pendek yang benar-benar pendek.
Agak menyiksa.
Keluarlah saya dari barisan
Eh ternyata di luar ada teman yang berperasaan sama.
Hehehehe.....kelamaan katanya!
Bagi siswa langitan memang biasa
tapi bagi kebanyakan kami.....luar biasa!
Tapi senang bisa terlibat sedikit dalam aktifitas mesjid.
Belajar berharokah!
Malah konon katanya Irema lah "partai "pengusung pencalonanku dalam Pemilihan Ketua OSIS Tahun 1995.
Sesuatu yang menjadi bekal ketika menjalani aktifitas serupa di jenjang pendidikan selanjutnya.
Mengidolakan Kang Ihsan Syakir Pentolan Irema saat itu,
sehingga nama depannya menjadi nama depan anakku, Ihsan Syarif Nashrullah!
#KitaSmandatas
Rabu, 22 Januari 2020
Dua Hari Di BPSDM Provinsi Jawa Barat
Kembali berkesempatan mengunjungi BPSDM Provinsi Jawa Barat.
Berkat pertolongan dan bantuan Alloh tentunya.
Terakhir kesini akhir tahun 2018, ada seminar nasional.
Sekarang acaranya Rapat Kerja Ikatan Widyaiswara Propinsi Jawa Barat dan Pemaparan Karya Tulis Ilmiah.
Sudah banyak yang berubah.
Ada gedung baru yang dulu masih dibangun.
Gedung kantor baru di bundaran masuk.
sementara Tower A dan B berdiri megah.
Gedun BPSDM Provinsi Jawa Barat |
Sarana dan prasarananya lengkap.
Sangat mendukung untuk kelancaran proses pendidikan dan pelatihan.
Sudah bukan jamannya lagi pendidikan dan pelatihan ASN di tempat kurang representatif.
Kecuali untuk diklat dengan tujuan dan sasaran tertentu.
Tower A (Kanan) dan Tower B (Kiri) BPSDM Jabar Cipageran Cimahi |
perlu dipetakan, dianalisis dan dikembangkan.
Ia adalah ujung tombak.
Eksekutor kebijakan di berbagai tingkatan.
ASN masa kini adalah ASN yang profesional
ASN yang profesional, pada ranah keprofesionalannya pasti loyal.
Dunia sudah berubah, kini birokrasi terdisprusi.
Cara kerja, cara pandang dan cara pikir dituntut berubah.
Sumber daya manusia adalah aset utama.
Birokrasi yang baik tercipta dari aparatur yang baik
aparatur yang baik lahir dari diklat yang baik.
Tanpa itu SmartASN hanya akan sebatas gimick dan tagline.
Minggu, 05 Januari 2020
Prabu Siliwangi dan Mitos Maung dalam Masyarakat Sunda (2)
Harimau Jawa (sumber: independent.co.uk) |
Oleh: Hiski Darmayana (Alumni
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran)
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam,
niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi
atau Kerajaan Pajajaran dengan Simbol Harimau. Adapaun yang mengatakan bahwa
harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus
orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi lagi
lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik
itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan
mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, karena ada beragam
versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran. [2]
Problem lain yang muncul berkaitan
dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang
cukup jauh antra masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan
runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan
Siliwangi dan pra pengikut Pajajaran menjadi harimau di Hutan Sancan. Penting
untuk diketahui bahwa secara etimologi, Siliwangi yang terdiri dari dua suku
kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi.
Menurut para pujangga Sunda masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi
Prabu Niskala Wastukancana yang berkuas di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu
belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371 -1475. Lalu, nama Siliwangi yang
berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu
Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521
Masehi dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil
mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan Kerajaan Pajajaran[3].
Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, kerajaan Sunda-galuh sempat terpecah. Putra
Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya
menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan
Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya,
Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda
ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki
arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang
dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang
berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan
Pajajaran Runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi?
Ternyata, sejara mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu
Jayadewata[4]. Berikut ini adalah periodisasi pemerintahan raja-raja Pajajaran
pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1. Prabu Surawisesa (1521-1535)
2. Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3. Ratu Sakti (1543-1551)
4. Prabu Nilakendra (1551-1567)
5. Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya
lah, tepatnya 1579, kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan
pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf[5]. Peristiwa itu
tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman
219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi in ekadaci
cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakal (Pajajaran lenyap dari
muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8
Mei 1579).
Kemudian bagaimana nasib Prabu
Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta pengikutnya
yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika
itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah
tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan Kerajaan pajajaran terjadi pada tahun 1579
tau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak
pernah mengalami keruntuhan kerajaan yang dipersatukannya. Raja yang mengalami
kehancuran kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan
kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng [6]nya
Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang
mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran
terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini
masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian
bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi
dari sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau sekedar mitos bukan fakta
sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana
sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran
itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan
ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes
Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan
(daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal
23 Desember 1687 tersebut berbunuai,”dat
hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya bahwa istana tersebut terutama
sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih
berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya
salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau
ketika sedang menjalankan tugasna.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu
mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan
pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang
menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan pendudukan sekitar Pakuan
mengenai hubungan antara keberadaan harima dan hilangnya kerajaan Pajajaran.
Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bahwa mitos maung laihr
karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di
pusat kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut
sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung
kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi
penelitian [7]. Sepeninggal penduduk dan petinggi kerajaan wilayah Pakuan
berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya
banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung
tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada
sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh
serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang
sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat
Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai
sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian
tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah,
identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan
kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah perlu diluruskan agar generasi
berikutnya, khusunya generasi baru etnis Sunda tidak memiliki persepsi yang
keliru dengan menganggap mitos maung siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah
satu dari sekian banyak “pembengkokan” sejarah di negeri ini yang perlu
diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin
berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak
takut melihat kebenaran masal lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah
menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian
tangguh. Terima kasih.
Catatan kaki:
[1] Kisah mengenai wangsit ini telah
menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinulas” dari generasi ke generasi
dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita
mengenai wangsit ini bermula.
[2] sebagian kalangan berkeyakinan
lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu
perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat
bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di
Kropak 630, semacam karya sastra Sunda Berjenis pantun pada masa Prabu
Jayadewata berkuasa. Seperti hal nya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga
diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu
Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jawadewata juga mendapat gelar lain, yakni
Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam naskah Carita
Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan kerajaan Sunda-Galuh hingga
Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah
keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang
[6] Janggawareng merupakan istilah
bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah
Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari
serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu
Nilakendra amat lemah dan tidak mampu membendung agresi Banten.
Prabu Siliwangi dan Mitos Maung dalam Masyarakat Sunda (1)
Harimau Jawa (sumber: independent.co.uk) |
Oleh: Hiski Darmayana (Alumni
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran)
Dalam khasanah kebudayaan masyarakat
tatar Sunda, maung atau harimau
merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan
kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol Maung, baik itu simbol verbal maupun non
verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam)
Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepakbola kebanggaan Kota Bandung (Persib)
yang sering dijuluki Maung Bandung.
Lantas, bagaimana asal muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol
hewan karnivora tersebut?
Maung
dan Legenda
Siliwangi
Dunia keilmuan antropologi mengenal
teori sistem simbol yang diintrodusir oeleh Clifford Geertz, seorang antropolog
Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz
menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan.
Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan
kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterprestasi sebuah kebudayaan maka
dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan
salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah
sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (system
of meanging) yang berfungsi menginterprestasikan simbil dan pada akhirnya dapat
menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda
menghilangnya (ngahyangnya) Prabu
Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan
Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi.
Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah
memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta pra pengikutnya yang masih setia memilih
untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya ngahyang
(moksa). Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda,
sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan
pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal dengan sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsi yang populer
di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun
aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung” [1]. Ada
hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu
termasuk kategori bahasa Sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang
digunkan oleh masyarakat Sunda Priangan (undak-usuk basa). Mengapa seorang raja
berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”?. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan
undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni dan
budaya politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi
pada abad 17-beberapa abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau ngahyang. Namun
tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan untuk melegitimasi wangsit itu
sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang
mempertanyakan validitas dari wangsit tersebut sebagai fakta sejarah, termasuk
penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian
masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan
bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa
(bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar;
apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya taukah
hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan
juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosis Prabu Siliwangi menjadi harimau.
Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang
Sunda yang menganggap sipat maung
seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku
yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sisi kita melihat terungkapnya
sistem nilai dari simbol maung dalam
masyarakat Sunda. Ternyata maung memiliki sipat-sipat yang seperti telah
disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan
masyarakat Sunda, khusunya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan
menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau
leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon
di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi
harimau atau maung. Proses
penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian
masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya
menjadi harimau karena keteguhan pendirian untuk tidak memeluk agama Islam.
Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah
menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap
itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi
maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih,sedangkan
para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih
sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi itu masih dipercaya kebenarannya oleh
masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan
lokal (local wisdom). Menurut
masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk
dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan ‘berhadapan’ dengan harimau
putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di
sisi yang lain, hal demikian dipandang sebagai pengetahuan masyarakat yang
berhubungan dengan ekologi. Masyarakat Sancang telah menyadari arti pentingnya
keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali
perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau
putih jelmaan Prabu Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial
tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan
korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan
pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu
Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali.
Rabu, 01 Januari 2020
Paling Tenang
Pantai Padang (foto by Kurniawan B.S) |
By: Asa Saefulloh
Orang paling tenang hidupnya bukan yang banyak hartanya, bukan yang mapan finansialnya, bukan pula yang tinggi jabatannya
Justru yang paling tenang hidupnya, ialah ia yang paling sadar bahwa dirinya sejatinya tak punya apa-apa, sedangkan apa-apa dalam hidupnya, ia sadari sepenuhnya, semua milik Rabb nya...
Orang yang paling tenang hidupnya bukan yang kuat fisiknya, bukan yang cerdas akalnya, bukan pula yang merasa sudah hebat dengan segala pencapaian dalam hidupnya
Justru yang paling tenang hidupnya, ialah ia yang merasa bukan siapa-siapa, tak bisa apa-apa, sedangkan semua pencapaian dalam hidupnya, ia sadari sepenuhnya, semua karena pertolonganNya...
Orang yang paling tenang hidupnya, bukan ia yang banyak koneksinya, banyak relasinya, banyak kenal "orang penting" dalam hidupnya
Justru yang paling tenang hidupnya, ia yang merasa tak punya siapa-siapa yang bisa membantu kehidupannya selain Rabb nya, hingga tak mau sedetik saja ditinggalkan olehNya
Maka...
Jika sering tertekan batinmu, kecewa hatimu, dan gelisah kehidupanmu, coba cek kembali dirimu, bisa jadi sudah banyak "merasa"
Merasa punya, merasa tahu dan merasa mampu. Hingga akhirnya sedikit sekali terasa peran Allah dalam hidupmu
Kembali sadari bahwa diri ini bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, tak mampu melakukan apa-apa, semua yang nampak dalam diri hanya karena satu hal "Kasih Sayang dari-Nya, Allah SWT.
Sragen, 28 Desember 2019
Langganan:
Postingan (Atom)
Hidup Tenang
Kata Prof Quraish Shihab "Jika kau mendambakan kehidupan tenang, maka tinggalkan yang bukan urusanmu".
-
Hari ini di kantor ada perpisahan rekan kerja yang akan memasuki masa pensiun mulai bulan Oktober besok. Masa kerja lebih dari tiga puluh t...
-
Salah satu tempat yang menarik di Situs Cagar Budaya Karang Kamulyan Ciamis adalah Patimuan. Situs Cagar Budaya Karang Kamulyan berada...