Kamis, 28 Februari 2013

SEMANGAT TERUS LUR!

Atmosfer kuliah di ITB makin terasa. Menekan mental dan menguras energi. Tapi ini adalah jalan yang harus ku tempuh. Walau mungkin bukan bijih besi terbaik lagi. Aku lebih seperti pagar besi yang mulai berkarat yang terus terkena hujan.  Terkadang aku berfikir bagaimana dengan generasi ITB pada massa sebelum millenium baru.....perjuangan dan beratnya kuliah di kampus ini membuat aku berdecak kagum.

Aku hanya bersaing dengan ratusan orang, bukan ribuan orang
Aku tidak mengalami masa orientasi mahasiswa baru yang menuntut ketegaran lahir batin
Aku hanya mengumpulkan puluhan SKS....mereka ratusan
dan mereka bisa!

Aku juga pasti bisa
toh makan makanan yang sama dan hidup di langit yang sama!

Rabu, 27 Februari 2013

PARTAI POLITIK ITU BERNAMA MEDIA MASSA

Mungkin terdengar aneh. Apalagi bagi mereka yang begitu percaya bahwa pers yang NETRAL merupakan salah satu indikator demokrasi.  Karena telah kehilangan NETRALITAS itulah yang membuat saya tidak percaya lagi bahwa media masa sekarang merupakan salah satu indikator demokrasi. Di era informasi sekarang, media masa adalah corong yang sangat efektif untuk menyuarakan kepentingan.  Teori oligarki kekuasaan semakin mengukuhkan keberadaannya manakala kita menguak profil pemilik modal yang berada di balik sebuah media massa.

Mengeksplorasi kesalahan lawan politik. Memberitakan kegiatan partai politik yang diusung sang pemilik modal. Mereka lupa bahwa frekuensi media elektronik yang mereka adalah milik publik. Anugrah kelebihan capital yang mereka miliki seolah membuat mereka abai akan hak-hak publik.

AKU DAN MAINAN PERAHU KLOTOK



Bunyi klotok-klotok klotok-klotok di gerbang Mesjid Salman sejenak menghentikan langkahku. Rupanya bunyi itu  berasal dari mainan perahu klotok yang dijual seorang lelaki paruh baya.  Ingatan terhadap anakku membuatku berniat untuk membelinya.  Dengan sedikit tawar-menawar yang berakhir pada diserahkannya selembar uang sepuluh ribuan membuat mainan itu pindah ke dalam tasku.
Antusias jagoan kecilku menyeruak manakala mainan itu diperlihatkan menghapus segala lelahku menempuh perjalanan Bandung-Ciamis. Mulutnya tak berhenti nyerocos bertanya tentang mainan perahu klotok itu. Namun sayang entah apa sebabnya perahu itu tak kunjung  unjuk kebolehan. Mungkin tangkinya bocor atau aku kurang memahami mekanisme kerjanya yang jelas raut kekecewaan terpancar jelas di wajah jagoan kecilku.
Mainan perahu klotok adalah mimpi masa kecilku. Aku pernah marah sama orang tuaku karena keinginanku untuk dibelikan mainan itu tidak mereka gubris.  Sikap bapakku ketat dalam soal mainan.  Satu prinsip yang selalu ditanamkan oleh ayahku katanya beli mainan itu seperti membeli sampah.  Lebih baik beli makanan. Akhirnya mainan perahu klotok dan truk-trukan selalu menjadi impian sampai habis masa kecilku.
Entah sebuah pelampiasan dari keinginan yang dulu tidak terwujud atau ketidakkuasaanku menolak keinginan anakku, sebagian besar keinginan anakku untuk membeli mainan selama masih ada dalam jangkauan daya beliku selalu terlaksana.  Benar apa yang dikatakan ayahku dulu. Tumpukan mainan yang rusak atau korban kebosanan anakku menumpuk di sudut kamar.  Nyaris hanya kepuasan sesaat dan mungkin saja bahasa kasih sayang kami dalam bentuk mainan dipahami salah oleh anakku. Pembelian mainan anak hanya taktik sederhana menghentikan kemarahan atau kekecewaan anak.  Nilai edukasinya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan pengorbanan yang dikeluarkan.
Memang simalakama tetapi kita harus mampu bersikap. Manajemen pendidikan anak harus dikuasai dengan baik. Kita harus mampu mengelola setiap keinginan anak dan juga mengelola ekspresi  kasih sayang kita kepada anak dengan teknik yang edukatif dan konstruktif.  Sekarang aku dapat memahami sikap orang tuaku dulu dengan positif mengapa mereka dulu tidak terlalu memanjakanku. Thanks Mom n Pap!.

Jumat, 01 Februari 2013

VARA AQIILA NOORSYARIF


Vara Aqilla Noorsyarif, anak keduaku, lahir secara normal pada  tanggal 16 Januari 2013 di Rumah Sakit Permata Bunda Ciamis pukul 16.30. Tinggi badan 50 cm dan berat 3.7 kg.

Wellcome my daughter!Allhamdulillah. thanks to God!give me ability to care of this mandate!

Something About Me!



Sejatinya untuk memutuskan dimana dan bagaimana plasenta anakku dikubur adalah sesuatu yang sederhana.  Namun dua minggu yang lalu ketika anak keduaku lahir keputusan itu seolah menjadi sesuatu yang sulit.  Hal yang agak aneh jika melihat posisiku sebagai kepala keluarga yang mempunyai otoritas penuh untuk itu. Aku masih harus meminta masukan mertua dan mendengar apa kata tetangga.  Ritual dan mitos yang ada seputar tatacara memperlakukan plasenta ikut mempengaruhi bagaimana aku harus membuat sebuah keputusan.
Pada kasus tertentu aku cenderung peragu dan mudah terpengaruh!. Sifat ini berpengaruh pada mekanisme pembuatan sebuah keputusan. Terlalu banyak faktor yang dipertimbangkan dan terkadang alasan untuk menghindari konflik lebih dominan dibanding keputusan yang logis.  Malah terkadang aku mengorbankan kepentinganku sendiri demi terciptanya sebuah harmoni. Karena itu membuat keputusan secara kolektif lebih kusukai.
Sifat ini terkadang menyiksa.  Aku harus berlama-lama berada di toko ketika dihadapkan untuk membuat keputusan pembelian dengan banyak pilihan jenis dan motif.  Sejarah kepemimpinan yang kupunyai sebenarnya yang cukup lumayan.  Di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas aku pernah menjabat sebagai ketua OSIS.  Tapi memang gaya kepemimpinanku sejak dulu lebih mengedepankan kolektifitas dengan tidak terlalu mengedepankan ego sebagai seorang pucuk pimpinan.  Hal ini terkadang ditafsirkan orang bahwa aku seorang pemimpin yang lemah dan mudah dipengaruhi.
Aku adalah bungsu dari dua bersaudara. Ini mungkin salah satu hal yang membuatku peragu dan mudah terpengaruh.  Aku lebih banyak disodori sesuatu yang sudah jadi, jarang dilibatkan dari proses awal.  Selain itu peringatan dan hukuman yang diberikan orang tua manakala aku melakukan sesuatu yang kurang berkenan membuat terkadang membuatku takut untuk melakukan sesuatu.
Sifat itu harus aku  ubah sedikit demi sedikit.  Membuat keputusan sesuatu yang inherent dari seorang pemimpin. Kemampuan untuk membuat sebuah keputusan secara cepat dan tepat adalah kemampuan yang harus selalu diasah dan diuji. Aku harus belajar berkonflik, membuka front! Tentunya bukan sembarang konflik. Tapi konflik yang dihasilkan dari keputusan yang aku buat. Bukankah sebagai pemimpin kita tidak akan bisa memuaskan semua orang.  Pasti akan ada orang yang pro dan kontra.
Aku juga harus berani untuk melakukan kesalahan.  Ahli kebijaksanaan mengatakan bahwa orang yang baik itu bukan orang yang tidak pernah membuat kesalahan. Tapi orang yang berbuat kesalahan kemudian memperbaikinya.  Tetapi kalau penghapus lebih cepat habis dari pensil artinya kita terlalu banyak membuat kesalahan.

Minggu, 13 Januari 2013

DARE TO SAY

Ya, berani mengemukakan pendapat!setelah berfikir maka selanjutnya adalah bagaimana kita mengemukakan pemikiran kita. Itu perlu keberanian. Apalagi ketika pendapat kita berbeda dengan mainstream. Pendapat yang baik adalah yang didasarkan pada konstruksi berfikir yang logis dengan didasarkan fakta-fakta empiris.  Tidak mudah memang, tapi harus terus belajar!Jangan takut salah. Orang yang tidak membuat kesalahan biasanya tidak berbuat apa-apa.

Kamis, 10 Januari 2013

UJIAN KESHABARAN

Minggu-minggu ini banyak momentum yang bagus untuk pembelajaran kehidupan.  Menunggu istri lahiran, khawatir dan bahagia bercampur begitu rupa.  Menanti nilai-nilai kuliah keluar, ini juga membuat jantung berdebar, harap-harap cemas! Ikan gurame peliharaanku hampir mati semua. Mertuaku sakit. Kini yang membuat sedikit darah naik adalah ulah tetangga yang membuat peternakan ayam petelur di dekat rumah. Bau kotorannya menyengat, sampai rumahku mirip kandang ayam...bau!tanpa permisi dan permintaan maaf.  Harus gimana....apakah tetap bershabar sampai hidung ini kehilangan indera pencium.....hak asasi kita dibatasi oleh hak asasi orang lain. Punya sikap emphati itu lebih terhormat!

Rabu, 09 Januari 2013

I'M NOT A MANCHESTER UNITED FAN !BUT I RESPECT THEM!

Whenever watching Manchester United play definitely I would favor his opponent. Do not know why, but such was the truth. My opponent to MU started by the end 80 era, when the first love of football. My first favorite team in  English Premier League  is Liverpool. Previously I known The Red Devils is Liverpool nickname. Infact later I realized Reds Devils is Manchester United nickname, Liverpool is The Red. So simple but that thats the reason.
 
At first I saw the game when Manchester United against Crystal Palace on
1990 FA Cup Final . But the 1997 Champions Trophy semi-final against Borussia Dortmund is a truly witnessed a good understanding. With all my conciusness I realize that Mancherster United is good team. Collectivity and passion for winning is Manchester United trade mark! We rarely hear noisy from managerial or dressroom of MU.  Sir Alex Ferguson has succed manage everything. This is first time I expressed my appreciate to SAF and Manchester United. I'm not fan but I am respect. The lesson from SAF, that  to get the success need time and we must concern with our job. MU spirit describe never give up attitude!

Selasa, 08 Januari 2013

HABIS GURAME TERBITLAH NILA WANAYASA

Iseng-iseng memelihara ikan di kolam kecil belakang rumah (disebut kolam kekecilan disebut bak juga terlalu besar).  Sudah bermacam-macam ikan dicoba, mulai dari lele, patin kemudian gurame....yang relatif berhasil itu ikan lele. Mungkin kurang sampe 100 ekor saya beli benih gurame. Tapi selalu gagal paling, angkatan pertama hanya tersisa dua ekor!beli 40 ekor yang kedua baru-baru ini paling tersisa 8 ekor!entah kenapa airnya tidak cocok atau apanya!

Hari ini aku coba beli benih ikan Nila, Nila Wanayasa katanya. Entah perkawinan dari nila apa!tapi yang jelas katanya kata temanku di Balai Benih Ikan (BBI) Sukamaju Kecamatan Baregbeg adalah benih unggul. Mudah-mudahan saja. Melihat ikan berenang memang mengasyikan!

Senin, 07 Januari 2013

"A" PERTAMAKU

Alhamdulillah wasyukrulillah!
Akhirnya tulisan tugas akhirku untuk Keamanan Informasi Lanjut  diapresiasi A oleh Pak Budi Rahardjo, salah satu dosen yang inspiring. Buat saya mendapat penilaian itu dari orang sekaliber beliau adalah kehormatan tersendiri. Ini menambah kepercayaan diri dan sekaligus modal bagiku untuk terus bertumbuh dan berkembang.

Sabtu, 05 Januari 2013

SEPAKBOLA POLITIK DAN POLITIK SEPAKBOLA



Usai sudah pesta sepakbola empat tahunan di benua biru. Spanyol menasbihkan diri sebagai satu-satunya negara yang mampu meraih piala henry delauney dua kali berturut-turut, setidaknya sampai dengan saat ini. Selain itu juga La Furia Roja berhasil mencatat hattrick tiga trophi utama dalam jagat sepakbola, Piala Eropa Tahun 2008 yang dihelat di Swiss dan Austria, Piala Dunia dua tahun yang lalu di Afrika Selatan dan Piala Eropa tahun 2012 di Polandia dan Ukraina.
Sepakbola adalah lingua franca, bahasa universal yang bisa dipahami di berbagai pelosok bumi. Walaupun secara geografis turnamen nun jauh di Polandia dan Ukraina sana, tapi gaung dan atmosfirnya sampai ke pelosok-pelosok negara kita.  Kita  mendaulat sepakbola sebagai olahraga favorit.  Para penggemar bola rela menghabiskan malam di depan layar televis, berkorban harta dan bahkan nyawa demi mendukung tim kesayangannya.  Walaupun belum menjadi agama kedua seperti di Brasil, sepakbola di Indonesia nyaris selalu menjadi tema utama pembicaraan baik di warung kopi pinggir jalan atau caffe-cafee di daerah elit.
Turnamen sepakbola pun marak di negeri ini, mulai yang mengklaim sebagai liga dengan kasta tertinggi sampai dengan liga tingkat RW, walaupun terkadang kebanyakan dari perhelatan itu berakhir keributan dan mewariskan benih-benih permusuhan yang makin lama makin akut.  Keberpihakan dan ketertarikan pada sebuah klub sepakbola  atau negara melahirkan fanatisme.  Berkumpulnya orang-orang yang mempunyai fanatisme yang sama melahirkan kelompok pendukung atau fans club.  Ditilik dari sisi kapitalisme kelompok-kelompok itu adalah pasar potensial.  Bagi seorang politisi atau organisasi politik, kumpulan orang-orang itu adalah calon pemilih potensial yang dengan fanatismenya dapat dirayu untuk suatu kepentingan politik tertentu.
Sepakbola Politik
            Ada dua hal  yang menyebabkan sepakbola dan politik mempunyai relasi komplementer, pertama adanya massa (suporter) dan kedua adanya sponsor (baca uang). Percampuran dua sumber unsur itu membuat sepakbola menarik dan memainkan banyak kepentingan. Maka jangan heran kalau kita banyak menjumpai bilboard yang bergambar tokoh politik  dengan kaus tim sepakbola klub tertentu, atau nama dan gambar tokoh yang terpampang megah di sebuah stadion sepakbola, atau calon kepala daerah yang berkampanye menjanjikan pembangunan stadion baru. Ini bukti sepakbola politik, sepakbola yang dijadikan alat politik.
Prestasi sepakbola sebuah klub atau negara akan ikut mengangkat popularitas figur tokoh politik tersebut, itu mungkin manfaat di satu sisi. Di sisi yang lain klub akan mendapat fasilitasi dari tokoh tersebut terkait beberapa kemudahan yang dibutuhkan. Sepengetahuan penulis fakta politik yang membuktikan keterkaitan itu adalah ketika  Silvio Berlusconi berhasil menjadi  Perdana Menteri Italia dan  Partai Forza Italia yang ia pimpin memenangkan Pemilu Italia. Menurut para pengamat politik keberhasilan Silvio Berluconi dan Parta Forza Italia tidak lepas dari persepsi positif publik Italia terhadap keberhasilan AC Milan, sebuah klub sepakbola yang dimiliki oleh Silvio Berlusconi. Untuk tataran lokal fenomena seperti ini terjadi pernah terjadi di salah satu kabupaten di Jawa Timur, persepsi masyarakat dan kebanggaan terhadap salah satu klub di sana ikut mengangkat popularitas seorang tokoh politik yang ikut berkecimpung di klub dan kemudian memenangi pemilihan kepala daerah di sana. Walaupun belum ada bukti penelitian yang valid dan teori yang dapat dipercaya, tapi sepakbola tetap dipercaya dapat menjadi alat politik.
Politik (baca kepentingan) yang lain dalam sepakbola adalah uang. Bagi para pengusaha, penggemar sepakbola adalah pasar potensial. Pemain sepakbola yang berprestasi adalah idola, ini juga sama dapat digunakan untuk mempengaruhi khalayak. Tak mengherankan bila sekarang lapangan sepakbola penuh dengan iklan. Bintang sepakbola menjadi bintang iklan. Hak siar pertandingan sepakbola menjadi tambang uang yang menggiurkan, hal ini pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab konflik kepengurusan PSSI yang tak kunjung usai. Padahal konon dulu pendirian PSSI adalah sebagai alat perjuangan untuk melawan kolonialisme Belanda. Kini PSSI seolah menjadi alat perjuangan kepentingan tertentu, kelompok tertentu dan partai politik tertentu.  Ego pribadi dan kelompok lebih mengemuka. Fanatisme klub membuat kita bermusuhan dan entitas kita sebagai bangsa justru terpecah oleh sepakbola, ironis. 
Filsafat  Sepakbola dalam Pilkada
            Sepakbola tanpa penonton dan pendukung nyaris seperti partai politik tanpa konstituen atau pemimpin tanpa massa, hambar dan nyaris tak berarti. Sebuah klub menjadi besar dengan prestasi, kita tidak akan tahu dan nge-fans kalau misalnya Persib tidak pernah menjadi juara. Manchester United, Juventus, Liverpool, Barcelona, Real Madrid, AC Milan dan klub-klub Eropa lainnya tidak akan banyak mempunyai fans di Indonesia kalau mereka tidak pernah menjadi juara.  Prestasi akan mengundang pendukung dan banyaknya pendukung itulah yang menarik para sponsor untuk menanamkan uangnya.
Pendukung pulalah yang menjadikan partai politik atau pemimpin menjadi kuat tetapi dalam politik justru logikanya menjadi terbalik. Justru uang yang akan menarik pendukung.  Mungkin dikarenakan di dalam politik sekarang sudah sedemikian transaksional sehingga sangat sulit untuk menemukan makan siang yang gratis, maka partai politik dan tokoh politik tanpa modal materi yang memadai, jujur saja, susah mendapatkan pendukung.  Padahal banyaknya peserta kampanye, bertebarannya posko dan baligo dapat menimbulkan efek hallo persis seperti pengumuman survei sebelum Pemilu atau Pilkada dilakukan, orang akan cenderung memilih yang massanya banyak dan diprediksi bakal menang.  Mental Nanglu (meunang milu) masih melekat di masyarakat kita.
Tapi lepas dari semua itu ada hal yang menarik dari kultur sepakbola Eropa yang bila diterapkan dalam perhelatan demokrasi (termasuk pilkada di dalamnya) akan membuat Pilkada menjadi lebih bermakan. Fair Play! Seperti permainan sepakbola, Pilkada juga akan menghasilkan yang menang dan kalah.  Namun sayang, sepakbola dan politik kita masih belum mau mesra dan bercengkrama dengan kata kalah. Kalah masih dianggap aib dan barangsiapa yang menimpanya maka seolah menjadi rendah dan terhinakan.   Mengakui tim sepakbola lawan bermain lebih baik masih menjadi barang mewah bagi para pelaku sepakbola kita.
Begitu juga ketika Calon Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota kalah dalam pemilihan.  Bukan pintu rumah pemenang yang pertama disambangi sambil mengucapkan selamat dan siap mendukung, justru pintu Mahkamah Konstitusi yang diketuk diiringi dengan tudingan curang dan demontrasi menyalahkan pihak lain.   Sikap Seperti Cesare Prandelli atau Joachim Loew yang mengakui lawan lebih baik dan menjadi pelajaran untuk melangkah ke masa depan menjadi hal istimewa bari kebanyakan para pemimpin kita.
Sepakbola juga mengajarkan bagaimana kita menghormati aturan main. Ada pelanggaran, offside, tendangan penalti, kartu kuning dan kartu merah. Eloknya dalam politik pun seperti itu, ada etika dan pantang menghalalkan segala cara. Seperti halnya dalam permainan sepakbola, tim yang bermain baik tidak selalu jadi pemenang. Tapi kita akan tetap mengenang sebagai tim yang baik. Kalau  tidak mengikuti aturan, bisa saja tim yang menang dan punya pendukung banyak didiskualifikasi.
             Hal lain dari filsafat sepakbola adalah kolektifitas, kebersamaan.  Bagi kita artinya persatuan. Dinamika demokrasi seperti Pilkada hendaknya tidak melupakan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa.   Tujuan kita berbangsa dan bernegara kita terlalu besar untuk dikalahkan apalagi dikorbankan oleh tujuan pribadi dan golongan.  Seperti halnya sepakbola, maka Pilkada seperti hanya kehidupan dunia ini tetaplah hanya sebagai permainan, tidak lebih.(Tulisan ini pernah dikirimkan ke media cetak, tapi ga dimuat hikshikshiks(.

Bangsa yang Kejam

Tak sampai nalarku untuk mengerti mengapa di era modern dimana konon peradaban sedemikian maju ada entitas bangsa yang berlaku demikian barb...