Jumat, 08 Februari 2019

Memposting Keikhlasan

Seiring perjalanan waktu ketika memosting sesuatu di media sosial hati dan pikiran ini jadi sok alim dan sok bijak. "Apa niat saya di balik postingan ini?". Apakah ingin dilike, diberi komentar, diberi pujian.

memposting sesuatu dengan berselimut keikhlasan itu menurutku yang imannya pas-pasan sulit sekali. Penyakit sum'ah (ingin didengar), ingin dilihat, dan riya berkolaborasi menggerogoti niat baik. Kita rata-rata memposting kebaikan....kesenangan. Jarang-jarang kita memposting musibah yang menimpa.

Kamis, 07 Februari 2019

Phlebotomi

Proses Phlebotomi
Akhirnya ngalamin juga diplebo.  Awalnya ada perasaan takut ini takut itu. Ternyata plebotomi bukan suatu yang menakutkan. Secara sederhana phlebotomi adalah proses mengeluarkan darah untuk suatu keperluan. Dalam khasanah thibbun nabawi, phlebotomi dikenal dengan terapi Al Fashdu.

Aku menderita polisitemia sekunder. Haemoglobin (Hb) pada darahku tinggi, lebih dari nilai normal berdasarkan pemeriksaaan lab. Akibatnya darah menjadi kental, hal ini ditunjukkan dengan nilai Hematokrit yang juga melebihi batas normal.

Hal ini diakibatkan karena kelainan jantung yang aku punya. Darah kekurangan oksigen sehingga sumsum tulang merespon dengan memerintahkan untuk memroduksi sel darah merah lebih banyak. Gejala yang dirasakan adalah pusing (dizzy)  dan kadang limbung/kleyengan seperti mau pingsan.
Karena darah kental ini juga menyebabkan tekanan pembuluh darah di paru-paru menjadi tinggi. Dalam istilah medis dikenal dengan Hipertensi Paru. Pulmonary Hypertension (PH).  Lebih lengkap tentang Hipertensi Paru dapat dibaca di Menjadi PH Fighter

Phlebotomi merupakan salah satu terapi untuk polisitemia dengan mengurangi volume darah di dalam tubuh sehingga diharapkan jumlah Haemoglobin (Hb) pun akan menurun. Penurunan Hb ini akan berkorelasi dengan penurunan kekentalan darah yang dalam hasil lab biasanya ditunjukkan dengan nilai Hematokrit. Menurut keterangan seorang analis lab, biasanya nilai hematokrit seseorang adalah 3x nilai Hbnya.


Sebatas memaksimalkan ikhtiar! Mudah-mudahan Alloh SWT memberikan kesembuhan.

Senin, 04 Februari 2019

UI, Sebuah Dejavu


Tahun 1995 pertama melihat landmark Universitas Indonesia. Saat itu sedang ngikut Latihan Kepemimpinan di PPPG Bahas Srengseng, melawati bunderan UI studi banding ke SMA 8 Jakarta. Tak berbayang tahun 1997 bisa menjadi mahasiswanya. Mahasiswa Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Universitas Indonesia.

Hidup kadang mengalami dejavu. Kembali mengakrabi bunderan UI, dan suara sirene perlintasan Kereta Api Listik yang dulu dikirain suara apa. Merasakan atmosfer salah satu top tier pendidikan tinggi di Indonesia bagi saya sebuah kemewahan. Seorang anak kampung dengan banyak keterbatasan. 

Jujur saja kuliah di sini adalah lebih berat di sisi perjuangan hidupnya. Survive dari hari ke hari. Maklum sistem kuliah di Politeknik tidak memungkinkan untuk banyak beraktifitas di luar. Secara akademis bisa diikuti walau dengan tergopoh-gopoh. Dapat nilai A sangat sulit disini. Mungkin karena sayanya kurang rajin (dan kurang cerdas) hehehehe. 

Kuliah di sini di kurun waktu 1997-1998 berarti merasakan kenikmatan dan kemewahan orde baru. Biaya kuliah hanya Rp. 500.000 tanpa harus bayar ini itu lagi. Semua sama tidak ada yang menikmati privacy sebagai orang kaya atau karena anugerah kecerdasan. Asal lulus test masuk silakan untuk mengasah diri. Tidak banyak jalur dan tidak banyak alternatif. 

Tibalah goro-goro 1998, reformasi kata orang-orang. Demo-demo mulai marak. Ikut juga lah, walau hanya di dalam kampus. Sekedar menyumbang satu teriakan hidup dan satu kepalan tangan. Jaket kuningku relatif bersih baik keringat maupun emblem UKM.

Amien Rais masih sebatas orator, Faisal Basri biasa dari dulu menyoroti ekonomi. Begitu juga dengan Sri Mulyani. Dua orang ekonom ini berangkat dari moment yang sama tapi nasibnya berbeda. Padahal dari dulu Faisal Basri sudah lebih berkeringan dan lebih dalam terjun ke politik. Ya itulah nasib.

Dua dekade ternyata melihat muara apa yang terjadi pasca goro-goro 1998. Pentolan organisasi ini itu yang subur di saat itu dan aktif di demo ini itu banyak menuai hasil saat ini. Kebanyakan jadi wakil rakyat di berbagai tingkatan dari berbagai organisasi politik. Baju kini kadang beda sama baju dulu, atau baju kini lebih menjelaskan baju mereka dulu. 

Mereka dari dulu berani beda dan wajar apabila kini luar biasa! Mereka berani menanggung resiko. dan memang rata-rata orang berani lebih berhasil...mereka berani mempertaruhkan hidupnya! sama-sama berjuang dalam berbagai bidang kehidupan.

Lha saya memang dulu bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Pemain aman mungkin. Lebih tepatnya pemain aman yang biasa-biasa saja . Yang mood hidupnya banyak ditentukan oleh menang tidaknya AC Milan. Ya wajar saja sekarang juga masih tetap biasa-biasa aja. Ordinary people in ordinary world!

Senin, 28 Januari 2019

Ingin....


Ingin kusesali
tapi karena apa
toh sudah terjadi

Ingin ku marah
tapi sebab apa
dan memarahi siapa

Ingin ku murung
tapi untuk apa
dan apa gunanya

Ingin kumenangis
tapi buat apa
toh tidak menyelesaikan

Ingin ku melawan
tapi tak bisa
dan tak akan pernah bisa

Ingin aku lari
dari kenyataan
tapi tidak bisa dan tidak akan pernah bisa

...apa yang terjadi adalah sebuah takdir...jalan hidup...
kita tidak tahu akan seperti apa
jalan terbaik adalah menerima...berdamai dengan kenyataan
terus bersyukur berdo'a dan berusaha
sebab yang terjadi adalah rencana terbaik
dari-Nya....Alloh SWT, pemilik segalanya!




Kamis, 24 Januari 2019

Melek Politik

Tabloid Detik.
(sumber: youtube.com)
Entah kenapa aku suka politik. Sejak dulu, sejak orde baru. Padahal aku termasuk yang merasakan dekapan "indahnya dan nikmatnya orde baru'. Hidup normal dalam tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan yang stabil. Namun tidak normal dalam pandangan sebagian mereka yang kritis. Penuh kesewenang-wenangan bagi mereka yang terpinggirkan dan lawan politik yang memilih berseberangan. Hidup yang viveri vericoloso bagi mereka yang mencoba berbeda warna dan tidak ikut arus utama (mainstream).

Tabloid Detik merupakan salah satu media non mainstream yang menjadi referensi politikku saat itu. Selain ayah, tabloid Detik adalah mentor politikku. Menyisihkan uang jajan sekedar untuk mendapat pencerahan dan pendapat berbeda tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dulu aku pengagum Sukarno. Selain Iwan Fals dan Luna Maya, posternya menghiasa dinding karmarku. Di sampinglaporan utama rubrik yang menarik dari Tabloid Detik adalah Dialog Imajiner dengan Bung Karno. Aku terinspirasi bikin Dialog Imajiner dengan Pak Harto.

Rubrik ini ditulis oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun). Sejak dulu ia selalu memilih di luar jalur. Hampir menyangka mau mendekati kekuasaan di penghujung orde baru, tapi ternyata tidak.

Isi tabloid ini lebih menyuarakan nada-nada yang berseberangan dengan pemerintah. Mengekspose tokoh-tokoh yang agak berbeda. Agum Gumelar dan Hendropriyono termasuk aparat pemerintah yang dulu memberi angin kepada mereka yang bersebrangan. Posisinya dan sikap politik dalam bandul kekuasaan kini merupakan penjelasan dari sikap politiknya dulu.

Bersikap "berseberangan" itu terkadang menguntungkan terkadang merugikan. Tergantung siapa yang menang. Berpolitik adalah sebuah jalur percepatan. Namun kalau patron politiknya dalam posisi tidak menguntungkan, ia akan mengalami perlambatan.

Tapi berpolitik itu harus siap lahir batin. Fisik dan mental. Sebab politik hanya mengenal menang kalah. Kalau menurut pepatah Sunda, berpolitik itu mending sineger tengah, ulah hareup teuing ulah tukang teuing. Ah! Hidup itu adalah pilihan.

Selasa, 22 Januari 2019

My PH My Adventure (1)


Sebenarnya sudah sejak tahun 2001 didiagnosa Hipertensi Paru. Biasa juga disebut PH (Pulmonary Hipertension). Dulu-dulu gejalanya tidak begitu terasa. Namun seiring waktu, gejala yang sering dirasakan adalah pusing (dizzy), perasaan mau pingsan. Berikut adalah sedikit penjelasan tentang Hipertensi Paru yang dikutip dari https://www.hipertensiparu.org/
  • Apa itu Hipertensi Paru?
Hipertensi Paru adalah suatu kondisi dimana tekanan darah tinggi terjadi di arteri (pembuluh darah paru) yang berhubungan dengan jantung.
  • Apa Sebab Hipertensi Paru?
Hipertensi Paru secara garis besar dibagi menjadi 2, belum tahu sebabnya (primer), sudah tahu sebabnya (sekunder). Penyebab hipertensi paru dari penyakit lain sangatlah banyak, contoh penyakit jantung bawaan, embli, autoimmune, dll.
  • Gejala Hipertensi Paru?
- Mudah lelah
- Sesak nafas saat aktifitas
- Pusing
- Pingsan
- Kaki bengkak air (edema) - fungsi jantung menurun
- Jantung kanan bengkak
- Detak jantung cepat/tidak beraturan
- Bibir dan kuku biru (saturasi oksigen rendah)
- Batuk /muntah darah
- Dsb.
Hampir semua gejala Hipertensi Paru adalah Invisible / tidak terlihat, karena itu teman dan keluarga biasanya sulit untuk memahami apa yang dirasakan pasien, menganggap semuanya baik-baik saja dan tetap menuntut banyak hal, dimana akhirnya berakibat fatal.
  • Apakah Hipertensi Paru Serius?
SERIUS! Apabila tidak diobati dengan rutin dan baik, maka dapat menyebabkan gagal jantung kanan dan berakibat fatal.
  • Apakah Hipertensi Paru bisa disembuhkan?
Secara garis besar Hipertensi Paru belum dapat disembuhkan. Beberapa kondisi hipertensi paru yang disebabkan oleh emboli, penyakit jantung bawaan dan kondisi penyakit sekunder lainnya, kadang masih bisa diobati/dikoreksi penyebabnya, sehingga bisa "sembuh" maupun stabil. Konsultasikan ke Dokter Anda masing-masing mengenai kemungkinan ini.

Apabila kemungkinan koreksi ini ada dan dianjurkan Dokter, maka segera koreksi, karena ada periode emas dimana bila sudah terlambat, koreksi tidak lagi bisa dilakukan.
  • Apakah Hipertensi Paru menular?
TIDAK, Hipertensi Paru bukan virus/bakteri yang dapat menular, Hipertensi Paru adalah kondisi dimana pembuluh darah paru rusak karena berbagai sebab lainnya (akibat dari penyakit lainnya). Hampir seperti penyakit jantung koroner, tapi beda pembuluh darah.
  • Apa Pengobatan Hipertensi Paru?
Dari 14 jenis obat Hipertensi Paru yang ada di dunia, yang masuk Indonesia hanya 4 jenis, yaitu : (dalam kurung adalah nama isi obat)
1. Dorner (beraprost) - sudah dicover JKN Nasional - tidak ada versi generiknya
Bila di wilayah Anda belum dicover, biasanya hanya karena kurang update informasi, mintalah petugas BPJS/Apotek di RS tersebut untuk hubungi hotline BPJS 500400, maka biasanya langsung bisa diinformasikan bahwa dorner memang sudah dicover BPJS nasional.

2. Viagra (sildenafil) – akan dicover JKN Nasional per April 2018 - sudah ada versi generiknya
Sildenafil dicover 20mg x 3 di semua RS di Indonesia yang ada dokter jantungnya, karena resep sildenafil harus dari dokter jantung.

Sama seperti Dorner diatas, kadang pelaksanaan di lapangan terkendala kurangnya informasi dan distribusi yang kurang lancar. Kita pasien harus proaktif memperjuangkan ketersediaan di RS tempat kita berobat dengan terus mengajukannya ke dokter maupun pihak apotek.

Jumlah pasien PH yang sedikit di daerah Anda juga mempengaruhi minat/prosedur RS untuk menstok obat PH, karena itu lakukan awareness/pengenalan Hipertensi Paru di daerah Anda agar dapat ditemukan pasien lain yang se Rumah Sakit.
Catatan : Bila dibutuhkan dokumen bukti beraprost dan sildenafil sudah dicover JKN Nasional untuk perjuangan di RS setempat, bisa menghubungi Admin YHPI.
Silakan membaca dokumen Viagra dan Sildenafil Generik untuk pembahasan mendetil tentang Sildenafil.
3. Cialis (tadalafil) - jarang digunakan - belum dicover JKN Nasional  - belum ada generiknya
Tadalafil mempunyai fungsi hampir sama dengan sildenafil, beberapa pasien ada yang lebih cocok dengan tadalafil, tetapi secara umum biasanya sildenafil lebih banyak digunakan.

4. Ventavis (iloprost) - belum dicover JKN Nasional - belum ada versi generiknya
Iloprost adalah obat PH untuk PH tahap tinggi, versi uap/hisap dan harga saat ini masih tinggi sekali, yaitu sekitar 10-90jt/bulan. Oleh karena itu biasanya pasien menghemat dengan membagi2 dosis menjadi kecil2, ataupun hanya digunakan sementara saja, misalnya saat PH tinggi/opname di RS. Silakan konsultasikan ke Dokter Anda, bila memang semua pilihan obat lain masih kurang membantu/bila Anda dalam keadaan gawat darurat di RS.

Semua obat di atas mempunyai jalur/cara kerja yang berbeda (kecuali sildenafil dan tadalafil hampir sama), meskipun semuanya sama-sama obat PH.

Bila kurang merespon (kondisi tidak membaik), seringkali kombinasi dari beberapa obat PH bisa membantu. Respon masing-masing orang berbeda, karena itu laporkan apa yang Anda rasakan ke Dokter, sehingga Dokter bisa mengevaluasi kebutuhan obat dan dosisnya.

Selain obat-obatan di atas, biasa Dokter juga seringkali memberikan obat tambahan seperti Lasix (furosemide), Aldactone (spironolactone), Digoxin, CCB (Calcium Channel Blocker), dst sesuai dengan gejala dan kebutuhan masing-masing pasien.

Hipertensi Paru adalah penyakit yang kompleks dan bisa disebabkan oleh puluhan penyebab lainnya, karena itu hanya tim Dokter Anda dan Anda sendiri yang dapat memahami apa yang dirasakan dan pengobatan yang paling pas untuk Anda.

Dokter yang mau diajak diskusi, ramah, terbuka, perhatian pada pasien, adalah penting dan akan sangat membantu Anda, karena PH adalah penyakit langka yang belum banyak diketahui bahkan oleh kalangan medis, dan juga karena sifat PH yang jangka panjang.

1 lagi Obat Hipertensi Paru yang cukup poten/efektif adalah Bosentan/Ambrisentan (hampir sama kinerjanya). Obat ini belum tersedia di Indonesia, dan harga versi patennya (Tracleer) di Singapura sangat mahal, yaitu 45juta/bulan. Kabar baiknya, versi generiknya ternyata sudah tersedia di India dengan harga kurang lebih 2-3jt/bulan (dosis full, tidak semua pasien harus menggunakan dosis full).
  • Sampai kapan saya harus minum obat? 
Seterusnya dan rutin sesuai yang dianjurkan Dokter. Minum obat tidak sesuai dosis, maupun tidak rutin, memang tidak terasa apa-apa dalam waktu dekat, tetapi sangat berpengaruh pada hasil jangka panjang.

9. Bagaimana dengan efek samping obat?
Semua obat ada efek sampingnya, bahkan bila kita makan katakanlah wortel berlebihanpun juga ada efek sampingnya. Dokter sudah mempertimbangkan obat dan dosis yang tepat untuk setiap kondisi kita, mempertimbangkan risiko dan benefit/keuntungannya bila minum/tidak.

Sekali lagi Hipertensi Paru sangat serius, kondisi yang menurun sulit untuk pulih kembali. Jangan karena takut gagal ginjal, tetapi akhirnya gagal jantung duluan, tentu bukan itu yang kita inginkan.

10. Apakah saya boleh menggunakan alternatif/herbal?
Belum ada pengobatan alternatif/herbal yang terbukti menyembuhkan Hipertensi Paru. Pengobatan alternatif/herbal dapat menyebabkan interaksi dengan obat Hipertensi Paru maupun pengencer darah (menyebabkan obat medis kurang efektif) maupun efek samping lainnya. Bila tetap ingin mencoba, maka konsultasikan ke Dokter Anda masing-masing.

Yang terpenting adalah JANGAN PERNAH STOP OBAT MEDIS tanpa seizin Dokter, karena hal ini sudah seringkali terjadi dan berakibat fatal.

11. Tips hidup bersama dengan Hipertensi Paru
- Istirahat secukupnya, sebelum lelah
- Aktifitas secukupnya
- Minum obat rutin sesuai dosis yang diajurkan Dokter
- Imunisasi flu tahunan dan pneumonia
- Tetap memiliki impian/tujuan dan berpikir positif (mental). Bila diperlukan, konsultasi ke psikolog juga sangat membantu, karena Hipertensi Paru adalah penyakit kronis/jangka panjang yang tentu melelahkan secara mental.
- Berserah dan tetap menjalani semuanya dengan rasa syukur kepada Tuhan (spiritual).

Kamis, 10 Januari 2019

Self-Healing


Tulisan ini bersumber dari
wordpress GUBUGREOT
Sasotyo Bin Moedjoko

Self-healing...
*Duowoo.... semoga bermanfaat untuk kesehatan*

Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit “Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”
“Kuat, Pak.”
“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”
Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”
“Maksudnya, Pak?”
“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”
“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”
“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.
“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.
“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”
“Iya, Pak.”
“Itu salah kaprah.”
“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”
“Ya ‘kan bisa di rumah.”
“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”
“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’
Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.
Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”
“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”
“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”
“Wah, wah, wah..”
“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”
“Lhoh, njenengan pernah Pak?”
“Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.
Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku
“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai. Ia lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala. Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.

Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”
“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi,aku manggut-manggut.
Tak asing dengan teori ini.
“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu! Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.
Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”
Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.
“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.
Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.
Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus.

Kadipiro Yogyakarta, 2016

Menyisakan Ketidakpercayaan

Bulan-bulan terakhir ini banyak sekali pembelajaran hidup. Terima kasih telah memberikan bahan untuk belajar. Sangat berharga sekali. Sering...