Mengisi cuti berkunjung ke Mamah di tanah kelahiran. Sudah
lama tidak berkunjung. Keterbatasan mobilitasku akhir-akhir ini membuat
frekuensi mengunjungi Ibu berkurang! Maafkan anakmu ini Mah! Do’akan
mudah-mudahan mobile kembali!
Pandanganku terantuk pada sticker-sticker caleg di meja
tamu. Oh iya sekarang sedang musim kampanye. Sticker adalah alat peraga
kampanye yang legendaris! Sejak jaman partai politik berjumlah dua dan satu
golongan karya, usaha sticker tetap laku. Sejak dulu sticker merupakan media
promosi yang murah dan efektif. Kalau tidak dicopot, pesan yang ada pada sebuah
sticker akan bertahan lama.
Dalam sebuah sticker politik, foto calon, nama dan nomor
urut plus partai yang mengusung rasanya sudah mewakili pesan yang ingin
disampaikan. Mungkin akan lebih heroik kalau memakai tagline-tagline tertentu. Tapi
secara umum arsitektur dan layout sticker caleg dalam Pemilihan Umum , Pilkada
atau Pilpres tidak revolutif.
Tidak semua orang kaca rumahnya atau daun pintunya mau
ditempeli sticker politik. Diakui atau tidak memasang sticker politik bisa
dimaknai keberpihakan alias sikap politik. Kecuali karena keterpaksaan atau
tidak mau dan tidak tega menolak, sticker politik rata-rata identik dengan
aspirasi politik
Sticker politik juga merupakan jejak penguasaan territorial
lima tahunan. Terkadang sticker politik lima tahun yang lalu masih jelas
terpampang, eh sticker baru datang lagi. Janji lima tahun yang lalu masih jelas
terngiang, eh sudah datang lagi janji baru.
Untung masyarakat kita pelupa. Tapi sebenarnya mereka tidak
pelupa. Mereka ingat, Cuma kadang tidak berkata-kata. Masyarakat kita
heterogen, ada yang idealis, realistis….tapi kebanyakan yang pragmatis. Mereka sebenarnya
menolak lupa tapi yang namanya uang politik, susah untuk ditolak. Mereka jadi
lupa untuk menolak lupa!
Hidup memang bergiliran. Musim kampanye sepertinya giliran para
kontestan yang dikerjai. Diminta ini diminta itu. Dan masyarakat sudah cerdas,
ingin crung creng! Bantuan yang nyata, baik itu lampu mercuri, uang, aspal,
pasir bahkan semen. Kalau hanya sekedar janji, berat! Wong yang crung creng aza
kadang dikibulin!
Naif bila kita menganggap demokrasi kita bebas dari politik
uang (money politics). Ingin banyak
suara tanpa banyak keluar biaya menjadi sebuah antitesa. Seperti kerja-kerja
yang lain, kerja politik juga butuh biaya. Logistik, gizi, pelumas dan
sinonim-sinonim lain adalah sebuah keniscayaan untuk menggerakan mesin politik.
Semilitan dan sesolid apapun sebuah mesin politik, pada akhirnya kita tidak
dapat bertempur dengan tangan kosong.
Ya masih seperti inilah demokrasi kita saat ini. Jangan menyalahkan
siapa-siapa. Kalau kita masih memakai pola politik hibah dan bansos, bantuan
politik berbalut program pemerintah, dana aspirasi dan sejenisnya, ya demokrasi
kita akan begini terus. Pendidikan politik banyak dilupakan akhirnya dunia
politik disesaki oleh para petualang politik, sementara rakyat kebanyakan hanya
berebut remah-remah dan eforia kebanggaan walau hanya sebatas tempelan sticker.
Politik tak lebih dari siapa memanfaatkan siapa!