Dewa Slide

Dewa Slide

Rabu, 24 Oktober 2018

Menggagas Wisata Kuliner Kadu Benteng

Kadu Benteng (sumber: FB Ryann Nazra)

Benteng sebagai salah satu kelurahan di Kecamatan Ciamis mempunyai keunikan kuliner yang potensial untuk dikembangkan. Selain salaknya, Durian (Kadu) Benteng atau yang lebih dikenal dengan Kadu Benteng merupakan salah satu jenis durian yang mempunyai rasa dan bentuk yang unik. Walaupun bukan durian jenis baru namun pohon durian yang secara endemik tumbuh di wilayah benteng selain usia pohonnya relatif tua juga budidayanya masih tradisional.

Bagi kalangan pencinta durian di Ciamis keberadaan Kadu Benteng telah lama di kenal. Kalau musim durian tiba (sekitar bulan Oktober sampai dengan Bulan  Februari) kita dapat dengan mudah menemukan durian Benteng di saung-saung pinggir jalan lingkar selatan atau bisa juga datang langsung pemilik pohon durian. Kita bisa dapat menikmati lezatnya Durian Benteng di kebun-kebun durian milik penduduk. Sebuah pengalaman yang menarik tentunya.

Potensi kuliner ini bisa dikembangkan sebagai wisata kuliner. Letak kawasan Benteng yang strategis dan akses jalan yang baik sangat mendukung upaya pengembangan wisata kuliner ini. Apalagi kalau Bendungan Leuwi Keris sudah beroperasi, wisata kuliner ini akan semakin mendapat daya dukung. Event kuliner juga dapat dipacking dalam bentuk festival. Keberadaan Jembatan Cirahong sebagai sebuah legenda sejarah juga dapat dijadikan daya tarik tersendiri.

Untuk mewujudkannya tentu perlu sinergi dan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Edukasi masyarakat penting dalam membangun sebuah kawasan wisata berbasis komoditas. Yang jelas potensi ini dapat dikembangkan untuk peningkatan kesejahteraan bersama.

Label: , , ,

Sabtu, 13 Oktober 2018

Hikayat Sticker Politik


Mengisi cuti berkunjung ke Mamah di tanah kelahiran. Sudah lama tidak berkunjung. Keterbatasan mobilitasku akhir-akhir ini membuat frekuensi mengunjungi Ibu berkurang! Maafkan anakmu ini Mah! Do’akan mudah-mudahan mobile kembali!

Pandanganku terantuk pada sticker-sticker caleg di meja tamu. Oh iya sekarang sedang musim kampanye. Sticker adalah alat peraga kampanye yang legendaris! Sejak jaman partai politik berjumlah dua dan satu golongan karya, usaha sticker tetap laku. Sejak dulu sticker merupakan media promosi yang murah dan efektif. Kalau tidak dicopot, pesan yang ada pada sebuah sticker akan bertahan lama.

Dalam sebuah sticker politik, foto calon, nama dan nomor urut plus partai yang mengusung rasanya sudah mewakili pesan yang ingin disampaikan. Mungkin akan lebih heroik kalau memakai tagline-tagline tertentu. Tapi secara umum arsitektur dan layout sticker caleg dalam Pemilihan Umum , Pilkada atau Pilpres  tidak revolutif.

Tidak semua orang kaca rumahnya atau daun pintunya mau ditempeli sticker politik. Diakui atau tidak memasang sticker politik bisa dimaknai keberpihakan alias sikap politik. Kecuali karena keterpaksaan atau tidak mau dan tidak tega menolak, sticker politik rata-rata identik dengan aspirasi politik

Sticker politik juga merupakan jejak penguasaan territorial lima tahunan. Terkadang sticker politik lima tahun yang lalu masih jelas terpampang, eh sticker baru datang lagi. Janji lima tahun yang lalu masih jelas terngiang, eh sudah datang lagi janji baru.

Untung masyarakat kita pelupa. Tapi sebenarnya mereka tidak pelupa. Mereka ingat, Cuma kadang tidak berkata-kata. Masyarakat kita heterogen, ada yang idealis, realistis….tapi kebanyakan yang pragmatis. Mereka sebenarnya menolak lupa tapi yang namanya uang politik, susah untuk ditolak. Mereka jadi lupa untuk menolak lupa!

Hidup memang bergiliran. Musim kampanye sepertinya giliran para kontestan yang dikerjai. Diminta ini diminta itu. Dan masyarakat sudah cerdas, ingin crung creng! Bantuan yang nyata, baik itu lampu mercuri, uang, aspal, pasir bahkan semen. Kalau hanya sekedar janji, berat! Wong yang crung creng aza kadang dikibulin!

Naif bila kita menganggap demokrasi kita bebas dari politik uang (money politics).  Ingin banyak suara tanpa banyak keluar biaya menjadi sebuah antitesa. Seperti kerja-kerja yang lain, kerja politik juga butuh biaya. Logistik, gizi, pelumas dan sinonim-sinonim lain adalah sebuah keniscayaan untuk menggerakan mesin politik. Semilitan dan sesolid apapun sebuah mesin politik, pada akhirnya kita tidak dapat bertempur dengan tangan kosong.

Ya masih seperti inilah demokrasi kita saat ini. Jangan menyalahkan siapa-siapa. Kalau kita masih memakai pola politik hibah dan bansos, bantuan politik berbalut program pemerintah, dana aspirasi dan sejenisnya, ya demokrasi kita akan begini terus. Pendidikan politik banyak dilupakan akhirnya dunia politik disesaki oleh para petualang politik, sementara rakyat kebanyakan hanya berebut remah-remah dan eforia kebanggaan walau hanya sebatas tempelan sticker. Politik tak lebih dari siapa memanfaatkan siapa!

Sabtu, 06 Oktober 2018

Ada Apa dengan MU



Dari kacamata dinamika Premier League plus filosofi sebuah kontestasi, sejatinya tidak ada yang salah dengan para  pemain Manchester United pun dengan pelatihnya; The Special One, Jose Mourinho. Tapi melihat mereka bertengger di posisi papan tengah klasemen terlihat seperti ada yang aneh. Kompetisi memang baru berjalan 7 pertandingan tetapi rekor  3 kali menang 1 kali seri dan 3 kali kalah tetap serasa tidak pantas.

Kekalahan tiga gol tanpa balas dari Tottenham Hotspur sebenarnya sulit untuk dimaklumi, apalagi terjadi di kandang. Lebih sulit lagi untuk memahami bagaimana MU bisa takluk oleh Brighton & Hove Albion dan Westham United. Kekalahan dari Derby County di Carabao Cup juga menambah hal-hal yang sepertinya hampir mustahil. Tapi itulah menariknya permainan sepakbola, semua tidak melulu soal finansial dan nama besar.

Kalau melihat realitas, perpaduan antara kapasitas Manchester United dan kompetensi Jose Mourinho pasti akan menghasilkan kualitas yang dahsyat. Manajemen dan dukungan keuangan yang mumpuni, taburan pemain bintang yang berkualitas dan loyalitas suporter hampir tidak menyisakan alasan bagi MU untuk tidak berprestasi. Berkaca dari sejarah, dengan kapasitas pemain yang di bawah skuad sekarang pun dulu MU banyak meraih gelar plus permainan yang menarik. Dulu kita sampai bosan nunggu ini tim kapan kalahnya! Namun sekarang MU seolah menikmati betul sebuah kemenangan, walaupun dari tim medioker sekalipun.

Saya bukan fans Manchester United. Saya adalah Liverpudlian. Tapi semenjak Liverpool mengalahkan AC Milan di Final Liga Champion tahun 2003 hubungan saya dengan Liverpool sebatas benci tapi rindu. Maklum Liverpool adalah cinta pertama saya di tanah Inggris dan AC Milan adalah cinta pertama saya di dunia nonton bola. Menjadi Liverpudlian seolah memaksa saya untuk menjadikan Manchester United sebagai rival. Padahal alasan tidak menyukai MU bukan karena rivalitas, dulu mengira julukan The Reds Devil itu milik Liverpool ternyata itu milik Manchester United, itu saja! Jadi ini bukan perkara prestasi atau hal-hal ribet lainnya.

Di balik rivalitas, sejujurnya Manchester United di dekade 90-an adalah bukti apik sebuah etos kerja, budaya organisasi, kebanggaan, disiplin dan loyalitas. Saya kagum dan respect atas pencapaian dan kapasitas MU. Prestasi yang ditoreh saat itu bukan melulu karena membeli pemain mahal, tetapi buah dari pendidikan dan latihan yang terstruktur dan terencana baik.

Sir Alex Ferguson adalah sosok penting  dibalik semua kesuksesan itu. Harus diakui ia jenius dalam perkataan dan perbuatan.  Kekurangannya adalah ia terlalu lama di puncak plus kesuksesannya. Ia seperti telah manunggal dengan MU. Hal itu berakibat buruk. Siapapun suksesor Sir Alex seperti tidak lepas dari bayang-bayang keberhasilan dan sejarah kegemilangan MU. Korban pertama adalah David Moyes. Hanya 8 bulan membesut MU. Ia hanya diberi pilihan untuk menang tanpa diberi kesempatan untuk berproses. Padahal David Moyes adalah pilihan dari Sir Alex Ferguson juga.  

Analisis saya sederhana saja. Kontestasi Premier League sekarang semakin kompetitif. Sebenarnya tidak ada yang kurang dengan Jose Mourinho atau para pemainnya toh menang dan kalah biasa dalam kompetisi. Ekspektasi yang tinggi dari fans dan manajemen klub dan nama besar klub justru seperti membebani pemain. Mereka kurang bermain lepas dan mengeluarkan permainan terbaiknya. Dalam kompetisi yang semakin ketat untuk menjadi pemenang tidak hanya cukup dengan implementasi manual book plus belajar dari masa lalu tapi juga harus punya differensiasi, punya filosofi permainan.  Intinya MU harus mampu mengalahkan diri sendiri dan masa lalunya,  itu saja!